STAHDNJ.AC.ID

Vidyaya, Vijnanam, Vidvan
Subscribe

Archive for the ‘Penelitian’

Mahasiswa KKN STAH DN Jakarta, Bangun Kualitas SDM Hindu di Pringsewu

September 07, 2021 By: admin Category: Artikel, Penelitian

Pringsewu (7/9) merupakan daerah tujuan utama KKN Offline oleh Mahasiswa STAH Dharma Nusantara Jakarta. Tepatnya di Pura Sabha Aum Chara Karangsari, Pekon Waringinsari Timur, Kec. Adiluwih-Pringsewu. Daerah ini merupakan tujuan yang sangat tepat, karena kultur masyarakat yang terdiri dari lima agama berbeda (Islam, Hindu, Budha, Katolik, Kristen) Moderasi beragama dan masyarakat yang harmonis menjadikan contoh dan bukti nyata bahwa implementasi NKRI dan Pancasila ada di Pringsewu.

Hal ini yang mendasari mengapa STAH DN Jakarta melalui kegiatan KKN Mahasiswa memilih daerah yang sangat harmonis ini. Kegiatan KKN STAH DN Jakarta mengambil Tema: “Sinergisitas Kuliah Kerja Nyata (KKN) Angkatran ke XVII Tahun 2021 STAH Dharma Nusantara Jakarta Dalam Mengoptimalkan SDM Hindu Untuk Indonesia Maju”. Kegiatan KKN Mahasiswa STAH DN Jakarta di Kabupaten Pringsewu ini dilaksanakan di Pura Sabha Aum Chara Karangsari, selama 2 hari penuh yaitu pada tanggal 4-5 September 2021.

Optimalisasi kegiatan KKN terletak pada sinergitas yang membangun jaringan komunikasi antar instansi keagamaan maupun pemerintah dan swasta. Untuk itu, STAH DN Jakarta menandatangani MoU dengan Bimas Hindu Kemenag Provinsi Lampung, serta PHDI Provinsi Lampung untuk bersama bergandengan tangan membangun kualitas SDM Hindu di seluruh wilayah Provinsi Lampung.

Acara ini dihadiri oleh Perwakilan dari Bimas Hindu Kemenag Provinsi Lampung bidang Ekonomi (Bapak Ketut Gede Riasa Astawa), PHDI Provinsi Lampung (Bapak I Wayan Ariyudi), PHDI Kabupaten Pringsewu (Bapak Misino), PHDI Kecataman Adiluwih (Bapak Ariyono), PHDI Pekon Waringinsari Timur (Bapak Sutarno), Lurah Pekon Waringinsari Timur (Bapak Ali Mustofa), Perwakilan STAH Lampung (Bapak Teguh Samiadi dan Bapak Suyono), beserta Dosen Pengampu Mata Kuliah KKN STAH DN Jakarta (Bapak I Wayan Kantun Mandara) dan Dosen STAH DN Jakarta (Bapak Indra Pramesari dan Ibu I Gusti Ketut Ayu Kurniasari). Ketua KKN adalah saudara I Komang Adi Wijaya yang dibantu oleh 26 mahasiswa yang terbagi menjadi tim offline dan online.

Kegiatan KKN ini mengangkat konsep Tri Hita Karana, yaitu Parahyangan, Pawongan dan Palemahan. Bagian Parahyangan yaitu memberikan bantuan berupa material bahan bangunan untuk merehab sekat Nista Mandala dan Madya Mandala Pura. Bagian Pawongan memberikan edukasi kepada masyarakat Hindu beserta anak-anak Hindu (SDM Hindu) dengan harapan motivasi untuk belajar dan mengenyam Pendidikan tinggi tumbuh dari dalam diri anak-anak Hindu (bantuan berupa buku-buku keagamaan Hindu). Bagian Palemahan memberikan bantuan berupa 5 ekor Kambing ternak dari STAH DN Jakarta serta 10 ekor Kambing Ternak dari PHDI Provinsi Lampung dan juga berupa bibit pertanian beserta pupuk organik (Donasi dari Bapak Wayan Supadno). Segala bantuan yang telah diberikan, diharapkan mampu memajukan kualitas SDM Hindu di Kabupaten Pringsewu-Lampung. (Arto)

Shadaranikaran Sebagai Model Komunikasi Hindu

October 21, 2015 By: admin Category: Penelitian

Oleh :

I Gusti Made Arya Suta Wirawan *

 

ABSTRACT

There is so much language variation which human use to express some meanings. Language is not merely verbal activity which set up on many word, it is also a non verbal activity like sign and symbol. Those varieties are surely effect either semantically or sociologically. Those consequences have been raised because language has interpretative side, meaning as long as the message has been interpreted by the sender and receiver. That mutual interpretation between sender and receiver is called as communication. Seventy percent of human activity is for communication, either by oral or writing. Even we can say that all problems in this world are raised by miss communication or waste communication. It is sure that effective communication could bring the interpersonal relationship becomes better that effectively strengthen between cultural relationship and human civilization. It is also likes Hindu civilization who always plug in communication complexity. As a civilization, Hindu is more than a religion. Hindu is a philosophy, an ethic, linguistic, technology, art and many things that still exist even today. In this article, the writer wants to dig the philosophical basses of Hindu communication that always relates on philosophy and art which is derives from Vakyapadiya and Natyashastra.

 

Keywords: Communication, Shadaranikaran, Natyashastra, Vakyapadiya    

 

Pendahuluan

Di dalam filsafat problem bahasa adalah problem yang bersifat hermeneutis. Istilah hermeneutika dikenal sebagai metode penafsiran teks dalam ilmu filsafat dan filologi (teologi). Hermeneutika dalam ilmu komunikasi masuk dalam kajian tradisi fenomenologi. Tradisi fenomenologi melakukan interpretasi sebagai proses sadar dan hati-hati dalam membentuk sebuah pemahaman. Hermeneutik dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan secara sengaja dan berhati-hati untuk menginterpretasi teks (philology), maupun menginterpretasi manusia dan peristiwa sosial (social hermeneutics).

Hermeneutik modern dikembangkan oleh Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher menggunakan teknik analisis saintifik untuk memahami makna yang dimaksudkan penulis. Salah satu tokoh yang juga membahas hermeneutik Wilhelm Dilthey berpendapat bahwa hermeneutik adalah kunci dari semua ilmu humanistik dan ilmu sosial. Bagi Dilthey, kita tidak dapat memahami semua aspek dalam kehidupan manusia melalui analisis scientific tetapi melalui interpretasi subjektif.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, hermeneutik terbagi menjadi dua. Hermeneutik yang digunakan untuk memahami teks, dan hermeneutik yang digunakan untuk memahami perilaku atau aksi. Tipe pertama disebut sebagai hermeneutik teks (text hermenutics) dan kedua disebut hermeneutik sosial/budaya (social or cultural hermenutics).

Secara umum teks adalah artefak yang dapat kita periksa dan interpretasi. Hermeneutik teks tidak terbatas pada pemaknaan teks tertulis, tapi juga segala sesuatu yang terekam, baik secara tulisan, elektronik, fotografi dll. Dalam proses melakukan hermeneutik dikenal sebuah siklus yang disebut sebagai hermeneutics circle. Maksudnya, kita menginterpretasi dari hal-hal umum ke hal-hal khusus, dan dari hal-hal khusus kembali ke hal-hal umum. Melalui siklus ini, kita akan selalu memahami objek berdasarkan pada pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki.

Masyarakat Hindu merupakan bagian dari peradaban tua dengan sejarah yang dikenal selama ribuan tahun dan memiliki identitas budaya yang berbeda sendiri. Hal ini merupakan warisan peradaban yang kaya secara kultural yang berakar pada periode Veda. Komunikasi (Sanchar) dan teorisasinya bukanlah konsep baru bagi masyarakat Hindu. Sebaliknya, baik komunikasi dan teori komunikasi adalah sesuatu yang sangat asli (murni) pada Bharatavarsha (India) kuno. Ada banyak konsep tradisional Hindu, teori dan metode, yang dapat digali untuk mengumpulkan relevansi dan signifikansi kontemporer mereka.

Banyak penulis yang tampaknya salah paham dalam mempertimbangkan teori komunikasi sebagai “produk dari Renaissance dan Pencerahan Eropa, di mana dasar-dasarnya yang dapat ditelusuri ke filsafat klasik Eropa” (lihat: Wong, Manvi, dan Wong, 1995, dalam Miike, 2006, hal 21), dan untuk alasan ini teori dan metode komunikasi merupakan murni gagasan Barat. Harus kita sadari bahwa, teorisasi, dan teori itu sendiri, baik komunikasi maupun cabang lain, merupakan hal yang sangat umum dalam sistem filosofi Hindu. Bahkan Filsafat Hindu kerap memiliki pandangan mengenai bersatunya teori dan praktek” (Balasubramanian, 1990, hal 16.). Dengan kata lain, para pemikir Hindu “selalu terlibat dalam berteori tentang praktek” (Mohanty, 2001, hal. 25), dan karenanya teori dapat didekati dengan cara yang sama.

Begitu banyak ragam komunikasi, baik verbal maupun non verbal, ekspresi wajah, gerak tubuh dan tangan dan lain sebagainya, namun dalam tradisi Hindu kuno (atau tradisi lain di dunia), komunikasi yang paling efektif adalah komunikasi menggunakan kata-kata. Seperti yang dijelaskan dalam kitab Vakyapadiya bahwa, terdapat hubungan permanen antara kata dan makna di dalamnya (V?kyapad?ya I. 23).

 

Layaknya organ indra pengelihatan memiliki kekuatan untuk menerima segala sesuatu yang datang ke dalam bidangnya, begitu pula kata-kata yang memiliki kapasitas alamiah untuk menyampaikan ide-ide. (Ibid. III. 29)

 

Menurut sistem filsafat Ny?ya dan Vai?e?ika, bahwa ‘kata’ memiliki kekuatan yang luar biasa yang disebut ‘Sakti’ yang bertanggungjawab dalam menyampaikan makna yang sebenarnya. Selanjutnya, teks-teks Ny?ya dan Vai?e?ika menyebut Sakti ini sebagai atribut Tuhan. Begitu pula dengan K?lid?sa yang mengatakan bahwa kata dan makna bersatu bersama seperti ?iva dan P?rvat? (Raghuvam?a I. 1).

Komunikasi tidak hanya menyampaikan informasi kepada seseorang. Jika informasi yang disampaikan tidak dimengerti oleh si penerima pesan, maka proses komunikasi tidaklah berhasil atau sempurna. Keberhasilan akan diraih ketika si pengirim menyatakan suatu materi (ide) yang dikemas ke dalam bahasa dan ‘kemasan’ tersebut dengan baik ditangkap oleh si penerima dan dengan segera si penerima memberikan feedback kepada si pengirim, yang tentunya lewat kemasan yang juga dapat dimengerti.

Dengan demikian proses komunikasi terdiri dari kebenaran, pengetahuan dan kesukacitaan (happiness)satya, jnana dan ananda, yang secara aktual merupakan karakteristik dari Brahman itu sendiri. Inilah mengapa kita menyebut sabda sebagai Brahman. Hal tersebut merupakan disposisi yang tepat dari manusia untuk mencapai hakikat dari sabda itu sendiri yang dapat disebut sebagai kesadaran hermeneutis. Hingga sesuatu yang disampaikan oleh sabda tidak dapat dimengerti maka di sinilah peran hermeneutika. Menurut romantisisme Jerman, pemahaman dan interpretasi merupakan satu kesatuan. Bahasa adalah media universal di mana pemahaman merealisasikan dirinya sendiri. Semua pemahaman merupakan sebuah interpretasi dan semua interpretasi mengambil tempat lewat media bahasa. Dengan demikian fenomena dari hermeneutika memperlihatkan suatu hubungan umum antara berpikir dan berbicara. Interpretasi bukanlah sesuatu yang pedadogis. Ia merupakan pemahaman itu sendiri yang terealisasi tidak hanya untuk sesuatu yang diinterpretasi tetapi juga untuk si penginterpretasi itu sendiri. Pemahaman dan interpretasi tidak terpisahkan. Dengan latar belakang hubungan antara interpretasi dan pemahaman ini serta hubungan mereka dengan bahasa dan komunikasi, dapat secara jelas kita lihat hubungan antara hermeneutika dan komunikasi.

Apa tanda komunikasi yang baik? Arthasastra memberikan beberapa istilah: arthakrama (pengaturan materi pengetahuan), sambandha (hubungan antara kata-kata), paripurnatha (keparipurnaan), sadhuryam (kemanisan), aidaryam (kemuliaan) dan spanutvam (kejelasan). Semua itu sesuai dengan prinsip-prinsip komunikasi sebagaimana diatur dalam studi manajemen. Sebagai contoh, untuk mendapatkan kejelasan, seseorang berusaha menghindari kata-kata asing dan menggunakan kata-kata yang tak asing (mudah dimengerti). Seperti halnya kalimat yang sering diungkapkan dalam dunia industri, “mesin tersebut mengarah pada peningkatan eksesif dan gejala audio yang tak lazim saat beroperasi pada suhu yang tinggi”. Kalimat tersebut dapat dengan mudah diturunkan ‘derajat’ kompleksitasnya menjadi “mesin tersebut menjadi berisik saat panas”.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan sebuah kajian pustaka terhadap dua kitab yakni Natyashastra dan Vakyapadiya. Dua kitab ini merupakan dua kitab yang secara konseptual memberikan penjelasan tentang komunikasi dalam konteks spiritualitas Hindu. Dua kitab ini tidak hanya memberikan penjelasan teknis namun juga hakekat dari komunikasi. Selain dua kitab tersebut, penelitian ini juga melakukan kajian terhadap beberapa jurnal dari Prof. Nirmala Mani Adhikary yang menjelaskan studi komunikasi dalam perspektif Hindu.

 

Shadaranikaran Sebagai Model Komunikasi Hindu

Usaha dalam mempelajari praktek komunikasi dalam masyarakat Hindu, terutama masyarakat India modern, dapat ditelusuri setidaknya lima dekade yang lalu (Majumdar, 1958). Namun, hal tersebut hanya terjadi pada awal tahun 1980 dan untuk selanjutnya para sarjana menekankan teori komunikasi ini dari perspektif Hindu (Dissanayake, 1981, 1982a, 1982b, 1983, 1986, 1987, 1988b, 1988c, Saral, 1983; Tewari, 1980; Yadawa, 1982 , 1987). Tewari (1980, 1992) dan Yadawa (1987, 1998) berpendapat bahwa sadharanikaran adalah konsep yang, dalam konteks Hindu, mengacu pada apa yang dimaksud dengan ‘communis’ dalam bahasa Latin dan ‘komunikasi’ versi modern dalam bahasa Inggris (juga lihat: Adhikary , 2009b, hal 70). Dalam perjalanan waktu, sadharanikaran telah dikenal sebagai teori komunikasi. Hal ini telah menjadi kebiasaan untuk menyebutkan sadharanikaran sebagai teori komunikasi Hindu/India, dan banyak lembaga akademis di India telah memasukkannya ke dalam kurikulum mereka.

Model Komunikasi Sadharanikaran (MKS) merupakan representasi dari proses komunikasi dalam perspektif Hindu. Ia merupakan deskripsi sistematis dalam bentuk diagram dari proses mencapai pemahaman bersama, sebuah kondisi timbal balik atau kesatuan antara pihak yang berkomunikasi. Ini menggambarkan bagaimana pihak yang berkomunikasi berinteraksi dalam sistem (yaitu, proses sadharanikaran) untuk pencapaian saharidayata. Saharidayata adalah konsep inti yang mana makna sadharanikaran berada di atasnya. Ini adalah keadaan dari orientasi, kesamaan, saling pengertian atau kesatuan umum. Dengan selesainya proses sadharanikaran pihak yang berkomunikasi (pengirim dan penerima pesan) akan menjadi sahridayas.

Sadharanikaran sebagai konsep/teori tidak harus dibingungkan dengan model sadharanikaran. Sadharanikaran, merupakan salah satu teori yang signifikan dalam bahasa puisi Sansekerta, memiliki akar dalam kitab Natyashastra dan diidentifikasi dengan Bhattanayaka. Sedangkan, yang terakhir mengacu pada model komunikasi yang mengacu pada konsep / teori sadharanikaran klasik bersama dengan sumber daya lainnya dalam rangka untuk memvisualisasikan perspektif Hindu pada komunikasi.

Sahridayata adalah konsep inti yang di atasnya makna sadharanikaran berada. Ini adalah keadaan orientasi umum, kesamaan atau kesatuan. Pengirim dan penerima menjadi sahridayas dengan selesainya proses sadharanikaran. Dalam masyarakat yang memiliki hubungan asimetris antara pihak-pihak yang berkomunikasi, hanya karena sahridayata komunikasi dua arah dan saling pengertian dapat dicapai. Dengan demikian, pihak yang berkomunikasi dapat mencapai sahridayata terlepas dari hirarki kasta, bahasa, budaya dan praktik keagamaan yang kompleks, dan proses komunikasi memenuhi syarat untuk dianggap sebagai sadharanikaran.

Sadharanikaran, sebagai proses komunikasi, terdiri dari sahridayas sebagai pihak yang berkomunikasi. Sebagai ‘istilah teknis’, kata tersebut menunjuk kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengirim dan menerima pesan. Mereka adalah pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi, dan mampu mengidentifikasi satu sama lain sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan. Seorang sahridaya adalah orang yang berada dalam keadaan intensitas emosional yang sama kedudukannya atau paralel dengan yang lain yang terlibat dalam komunikasi. Idealnya, istilah ini mengacu pada orang-orang tersebut yang tidak hanya bergerak di bidang komunikasi, tetapi juga yang telah mencapai keadaan khusus: sahridayata. Dengan demikian, sahridaya adalah seseorang yang telah mencapai sahridayata. Dengan demikian, sadharanikaran adalah proses mencapai sahridayata, dan, model sadharanikaran menggambarkan proses tersebut.

Model komunikasi sadharanikaran mengilustrasikan bagaimana pihak-pihak yang berkomunikasi berinteraksi dalam sebuah sistem (proses sadharanikaran) untuk mencapai sahridayata. Model tersebut mengandung elemen di bawah ini:

  1. Sahridayas (Preshaka-pengirim pesan, dan Prapaka-penerima pesan)
  2. Bhava (keadaan pikiran atau hati atau emosi)
  3. Abhivyanjana (ekspresi or encoding)
  4. Sandesha (pesan atau informasi)
  5. Sarani (saluran)
  6. Rasaswadana (penerima pertama, decoding dan menginterpretasi pesan dan

akhirnya mencapai rasa)

  1. Doshas (gangguan)
  2. Sandarbha (konteks)
  3. Pratikriya (proses timbal balik)

Mengacu pada ilmu komunikasi, abhivyanjana dapat diartikan sebagai sebuah ekspresi atau encoding. Dalam sadharanikaran, encoding sendiri bisa diartikan sebagai penyederhanaan (simplification). Penyederhanaan merupakan dimensi yang sangat esensial. Dalam proses komunikasi, konsep-konsep dan ide-ide yang kompleks disederhanakan lewat sang sumber (speaker) dengan menggunakan ilustrasi atau idiom-idiom sebagai sarana untuk terciptanya pemahaman bagi si pendengar (receiver). Pendekatan ini membuat komunikasi menjadi sesuatu yang dinamis, fleksibel, praktis dan instrumen efektif bagi kontrol dan hubungan sosial.

Jika komunikasi diambil sebagai proses langkah-demi-langkah, yang hanya demi memudahkan pemahaman, sahridaya-preshaka (pengirim), yang memiliki bhavas (suasana hati atau emosi atau pikiran atau ide) dalam pikiran, adalah inisiator dalam proses tersebut. Sang sahridaya (pengirim) harus melewati proses abhivyanjana untuk mengekspresikan bhavas mereka dalam bentuk yang dapat dipahami. Ini adalah sahridaya-prapaka (penerima) dengan siapa bhavas harus dibagi. Dia harus melewati proses rasaswadana.

Posisi sahridaya pengirim dan penerima sahridaya tidak statis. Kedua belah pihak terlibat dalam proses abhivyanjana dan rasaswadana. Ketika sadharanikaran berhasil, universalisasi atau generalisasi tengah berlangsung. Dalam Natyashastra sendiri, Bharata Muni telah menekankan pada upaya komunikasi total termasuk penggunaan kata-kata serta anggota badan, gerak tubuh, dan bahasa tubuh bersama dengan konteks fisik untuk memastikan komunikasi yang terbaik.

Manusia dalam esensi karakteristiknya merupakan ‘tumpukan’ bhavas yang membentuk keberadaan dan bentuknya yang merupakan bagian dari kesadaran totalnya. Hal ini disebabkan oleh bhavas, yang selalu manusia tuju, terlibat dalam komunikasi atau proses sadharanikaran. Jika tidak ada bhavas dan manusia tidak punya keinginan untuk berbagi bhavas mereka dengan orang lain, maka tidak akan ada kebutuhan komunikasi. Para bhavas telah dikategorikan ke dalam jenis yang berbeda, seperti sthayee bhavas (permanen dominan), atau vyabhichari sanchari bhavas (bergerak atau sementara) dan satvika atau sattvaja bhavas (berasal dari pikiran, temperamental).

gb1

Gambar 1. Model Komunikasi Sadharanikaran

Abhivyanjana mengacu pada kegiatan di mana sang sumber menerjemahkan bhavas menjadi bentuk yang dapat dirasakan oleh indera. Hal ini dapat dipahami sebagai ekspresi atau pengkodean dalam bahasa istilah komunikasi dalam perspektif barat. Pedoman utama ketika pengkodean sadharanikaran adalah penyederhanaan. Dalam proses komunikasi, konsep yang kompleks dan ide-ide disederhanakan oleh pembicara (source) dengan ilustrasi dan idiom yang tepat bagi pemahaman para pendengar (penerima pesan). Pendekatan ini membuat komunikasi yang dinamis, fleksibel, instrumen praktis dan efektif hubungan sosial dan kontrol.

 

Coding dan Encoding dalam Shadaranikaran

Sanketa (kode) adalah sebuah bagian integral dari abhivyanjana. Setiap code adalah sebuah keharusan dalam termanifestasikannya bhava (emosi). Sanketa merupakan simbol yang teroganisir dalam aturan-aturan yang spesifik. Sebagai contoh, bahasa adalah sebuah sanketa. Sehingga para pengirim informasi menyederhanakan kode-kode yang ada. Agar komunikasi bisa berhasil, baik pengirim maupun penerima informasi harus memahami kode-kode yang digunakan. Abhivyanjana dapat berupa kode verbal maupun non-verbal, dan kedua kode dapat digunakan secara simultan.

Pada abhivyanjana verbal, kata-kata/bahasa digunakan sebagai kode. Proses abhivyanjana terdiri dari empat tahap. Mengacu ke konsep bahasa sebagai kode yang dipahami dalam linguistik bahasa Sansekerta dan filsafat bahasa Hindu. Di sini, ada empat tingkatan kata atau tahapan bahasa (Shabda atau Vak) yang melewati: para, pashyanti, madhyama dan akhirnya kata yang terucap atau vaikhari. Dengan kata lain, bhava dapat dirasakan secara eksternal hanya ketika datang ke tingkat vaikhari.

Vaikhari Vak adalah bentuk perwujudan kata yang dalam hal ini berada pada tingkat yang paling eksternal. Kata tersebut sering diucapkan oleh pembicara dan didengar oleh pendengar. Sebelum diucapkan, kata atau Vak berada dalam pikiran atau intelektualitas, dan disebut sebagai madhyama. Ini adalah ide, atau serangkaian kata-kata, sebagaimana dipahami oleh pikiran setelah mendengar atau sebelum berbicara keluar. Ini dapat dianggap sebagai pidato dalam diri. Selanjutnya dan tahap terdalam, menurut Bhartrihari, adalah pashyanti Vak. Pashyanti adalah Vak pada tingkat intuisi langsung, dan dapat dipahami melalui pengalaman. Di sini, manusia mendapatkan pengalaman langsung dari vakya-sphota, sebagaimana yang dikatakan Bhartrihari. Dalam Vakyapadiya dan komentar Vritti nya, istilah ‘para’ tidak digunakan untuk menunjukkan tingkat keempat dalam berbicara. Bhartrihari mengatakan berbicara dibagi menjadi tiga bagian, dan ia memperlakukan tingkat ketiga (pasyanti) sebagai akhir. Hal ini kemudian dalam tradisi bahwa nama ‘para’ muncul, mengacu pada tingkat keempat. Para Vak adalah Shabda Brahman.

Dalam kasus abhivyanjana non-verbal, komunikator memiliki berbagai macam kode alternatif. Bharata Muni menggambarkan alternatif dari abhivyanjana termasuk gerakan anggota badan, representasi melalui make up dan ekspresi temperamental yang disampaikan lewat berbagai suara. Beberapa dari mereka sepenuhnya menangani aspek non-verbal sementara yang lain terdiri beberapa bentuk tersebut. Di bawah angika abhinaya, ia telah mengarahkan sebanyak 122 jenis karma (seni pertunjukan atau abhinayas) dengan menggunakan enam Anga (tubuh) dan enam upangas (penyukung tubuh) dari tubuh manusia (Adhikary, 2007d).

Menurut Bharata Muni, setiap bhava dikaitkan dengan baik pengalaman indrawi maupun emosi estetis. Dia menganggap bhavas sebagai representasi kondisi mental. Mereka tidak datang dari luar, melainkan mereka selalu tetap dalam pikiran. Namun, mereka tidak selalu dalam keadaan yang terbangun. Mereka harus atau diaduk oleh faktor eksternal yang disebut vibhava yang merupakan stimulus atau penentu seperti lagu, burung, gambar, dll. Vibhava mungkin berupa alamvana atau uddipana. Ketika kita melihat seekor ular, spontan muncul emosi tertentu yang mana emosi tersebut disebut alamvana vibhava. Rasa takut akan meningkat karena gerakan lidah ular dan stimulus tersebut memberikan kontribusi untuk peningkatan vibhava yang disebut sebagai uddipana vibhava.

Setelah bhavas dirangsang karena vibhava, anubhava telah di sana, yaitu, semacam manifestasi yang sekilas, mengangkat mata, senyum, dll. Anubhavas bisa sesuatu yang internal atau eksternal. Bharata Muni telah mengidentifikasi tiga anubhavas internal dan delapan yang eksternal. Para bhavas perlu semacam kode untuk manifestasi mereka. Untuk ini, mereka harus melewati proses abhivyanjana.

Dengan selesainya proses abhivyanjana, bhavas bermanifestasi sebagai sandesha. Dengan kata lain, sandesha adalah sebuah pesan yang merupakan manifestasi dari bhava yang menjadi bentuk (kode) agar dapat dipahami oleh indera. Ini menjadi semacam feedback bahwa si pengirim ingin menyampaikan kepada si penerima. Ini adalah produk fisik yang sebenarnya bahwa sumber encode, dan di mana alat indera penerima dapat mendeteksi. Dengan kata lain, hal tersebut adalah ide kode yang menyampaikan makna. Hanya dengan melakukan ‘namaste’ untuk menjelaskan semua pesan filosofi ‘Adwaita Vedanta’.

Pesan dalam verbal atau non-verbal mungkin tergantung pada encoding yang dilakukan oleh pengirim. Dalam kasus Natyashastra, pesan telah dibedakan sebagai angika (gerakan anggota badan), vachika (penyampaian lisan), aharya (representasi melalui kostum, make up dan perangkat eksternal) dan sattvika (emosi dan konsentrasi), masing-masing terdiri berbagai jenis. Misalnya, angika terdiri dari tiga jenis, sedangkan vachika memiliki dua belas bentuk.

Untuk transmisi sandesha, perlu ada sarani (saluran atau media), yang merupakan sarana di mana perjalanan sandesha melintasi ruang. Pesan yang dikirim oleh sumber atau pengirim tidak dapat mencapai penerima tanpa saluran atau media. Saluran mungkin sesuai alami untuk sifat biologis manusia seperti: auditori (pendengaran), taktil (menyentuh), visual (melihat), penciuman (bau) dan rasa (mencicipi melalui pengecap di lidah) saluran. Saluran bisa berupa yang artifactual seperti lukisan, patung, surat, dll. Kedua jenis saluran secara luas dijelaskan dalam Natyashastra. Saluran mungkin berupa benda mekanik seperti telepon, radio, TV, komputer dan sebagainya. Perlu untuk mempelajari apakah teks mewarisi konsep semacam saluran mechanical.

Komunikasi perspektif Hindu tidak akan selesai kecuali kedua manas (pikiran) dan sharira (tubuh manusia) dipahami sebagai sarani. Setidaknya hal tersebut merupakan media guna mencapai proses komunikasi pada dimensi spiritual. Manas dianggap sebagai indriya keenam (organ sensorik) dalam kepercayaan Hindu dan dianggap sebagai vibhu (master) dari panca indera. Namun, vibhu bukanlah otoritas tertinggi dalam hal ini. Sang vibhu adalah atman. Melampaui dari kehidupan mental merupakan fondasi dari filosofi Hindu. Bahkan, kehidupan manusia adalah sarana, bukan akhir. Dalam kepercayaan Hindu, tubuh bukanlah kebenaran hakiki meskipun sangat penting untuk eksistensi duniawi. Tubuh hanya tempat tinggal sementara atman, dan itu adalah alat atau sarana yang digunakan oleh atman. Dengan kata lain, sharira adalah sarani (saluran) dengan menggunakan atman yang telah mencapai moksha.

Dengan penggunaan yang tepat dari berbagai saranis seperti dibahas di atas, pengirim berhasil mengirimkan pesan ke penerima. Seperti abhivyanjana sangat penting bagi pengirim sedangkan rasaswadana untuk penerima. Istilah yang digunakan di sini harus dipahami sebagai ‘istilah teknis’ yang membawa berbagai makna. Radiusnya adalah dari menerima pesan ke decoding dan menafsirkan pesan dan akhirnya ke pencapaian rasa tersebut. Hindu ortodoks menggunakan istilah ini untuk merujuk pada pengalaman rasa oleh penerima (sahridaya). Dalam kasus komunikasi manusia yang bersifat kasual, rasaswadana dikatakan berhasil jika penerima membagi pesan sebagaimana dimaksud oleh pengirim. Namun, dimensi spiritual melampaui hal tersebut.

Tidak semua komunikasi menghasilkan pencapaian rasa dalam bentuk yang ideal. Rasa adalah esensi atau kenikmatan estetika. Bharata Muni mengistilahkan hal ini sebagai rasa karena hal tersebut layak untuk dinikmati. Ada rasa unik untuk setiap bhava.[1] Menurut Bharata Muni, kombinasi vibhavas dan anubhavas bersama dengan vyabhichari bhavas akan menghasilkan rasa. Ini adalah sthayee bhava yang mengarah ke rasa. Apa yang terjadi adalah sthayee bhava dirangsang oleh vibhava di dalam pikiran dan akan meningkat dengan anubhava dan sanchari bhava, dan pikiran akan sangat menerima pengalaman rasa pada pengalaman ini.

Masalah bagaimana makna dari pesan dicapai telah banyak diperdebatkan oleh para sarjana dan filsuf. Misalnya, ada perdebatan mengenai unit makna. Beberapa melihat kata-kata sebagai unit makna dalam komunikasi verbal, dimana Bhartrihari menganggap total kalimat sebagai unit dari makna. Bahkan jika sebuah kata diambil sebagai unit makna terdapat pandangan yang beragam tentang apa jenis entitas yang ditandai oleh kata.

Empat tingkat kata dalam kasus abhivyanjana yang memiliki tingkatan yang sesuai ketika mencoba rasaswadana. Sedangkan shravana sesuai dengan vaikhari, sebagaimana manana, nididhyasana dan sakshatkara dengan madhyama, pashyanti dan para masing-masing. Tidak semua orang yang terlibat dalam komunikasi akan melalui semua tahapan dari abhivyanjana dan rasaswadana. Sadharanikaran (komunikasi) sebagai kegiatan sosial dan mental akan hanya membutuhkan vaikhari dan madhyama di bagian pengirim dan shravana dan manana di bagian penerima. Tapi, dimensi spiritual dari proses tersebut juga akan membutuhkan tingkat lanjut. Dengan kata lain, tidak semua pihak yang berkomunikasi akan mencapai rasaswadana dalam bentuk yang ideal. Sebaliknya, itu hanya dapat dialami oleh sahridayas dalam arti ideal istilah.

Bharata Muni menjelaskan sadharanikaran sebagai titik klimaks dari drama ketika penonton menjadi satu dengan aktor yang menempatkan pengalaman melalui aktingnya di atas panggung dan secara bersamaan menghidupkan kembali pengalaman yang sama. Proses ini telah digambarkan sebagai rasaswadana. Ketika sadharanikaran terjadi, berbagi atau penyatuan dari pengalaman telah berlangsung dalam bentuk yang penuh. Menurut Bhattanayak, esensi sadharanikaran adalah untuk mencapai generalisasi atau kesatuan antara orang-orang.

Dua hal yang harus dicatat di sini. Pertama, vak (kata atau ucapan) dalam kontinum para-sakshatkara diidentifikasi dengan sang Brahman. Oleh karena itu, sakshatkara adalah keadaan mengalami Diri sebagai Brahman (“Aham Brahma asmi“). Kedua, Brahman dianggap sebagai rasa tertinggi (“rasovaisah“) dan karenanya rasaswadana di dalam tujuan utamanya akan menjadi rasaswadana dari Brahman. Dalam tahap ini juga ada kesatuan Diri dan sang Brahman. Dalam kedua hal, sadharanikaran memenuhi syarat untuk menjadi sarana bagi tercapainya moksha (Adhikary, 2007c).

 

Komunikasi Sebagai Proses Mencapai Sahridayata

Tidak ada komunikasi yang benar-benar sempurna. Ada kekuatan yang berlanjut pada cara kerja, doshas atau suara, yang cenderung mendistorsi pesan dan menyebabkan miskomunikasi. Jika kita mengacu pada puisi Hindu, terdapat konsep rasa-bhanga (gangguan pada rasaswadana). Mungkin terdapat banyak penyebab untuk masalah ini. Misalnya, ketidaksesuaian arti antara pengirim (encoder) dan penerima (decoder) pesan apapun dapat terjadi. Model tersebut harus diinterpretasi dengan mencakup semua suara, yaitu semantik, mekanik, dan lingkungan.

Bhartrihari telah mempertimbangkan kemungkinan ini dalam kitab Vakyapadiya, bahwa selalu ada cara untuk mengatakan hal-hal yang bertentangan tentang apa yang ada di dalam teks dan apa yang dimaksudkan oleh si subjek komunikasi. Untuk mengurangi ketidakpastian, beberapa teks suci dibuat otentik dengan pendirian yang kuat.[2] Pertimbangan ini membawa kita pada konsep sandarbha (konteks). Efektivitas dari pesan apapun tergantung pada lingkungan komunikasi. Pesan yang sama mungkin memiliki arti yang berbeda dalam konteks yang berbeda.

Gagasan mengenai konteks dalam proses komunikasi membuat konsep komunikasi Hindu menjadi komprehensif. Pentingnya sebuah konteks dilihat dari perannya yang dapat disematkan pada sebuah pesan bahkan jika si pengirim tidak teridentifikasi oleh si penerima. Dengan kata lain, berkat peran dari konteks, makna dari pesan apapun dapat dipastikan tanpa mendeterminasi maksud sebenarnya dalam pikiran pembicara, yakni cukup hanya dengan memperhitungkan faktor-faktor kontekstualnya. Jadi karena konteks sebuah teks dapat mempertahankan ke’obyektif’an maknanya.

Meskipun kedua pengirim dan penerima pesan harus mencapai sahridayas, Bhartrihari berteori komunikasi dari sudut pandang penerima. Dia telah membahas bagaimana arti yang dimaksud dipastikan meskipun ada kemungkinan makna yang bertentangan atau divergen dari pesan yang sama. Secara singkat, sandarbha (konteks), seperti dibahas di atas, dan intuisi (pratibha), yang terbawa kepada si penerima, memastikan pemahaman yang tepat dari setiap pesan.

Pratikriya mengacu pada tanggapan dari si penerima setelah menerima pesan. Ini adalah proses umpan balik, yang memungkinkan penerima untuk memiliki peran aktif dalam proses komunikasi. Umpan balik dapat dipahami sebagai kesamaan proses langkah-demi-langkah yang dalam mengembalikan pesan yang mengikuti langkah yang sama dijelaskan di atas. Proses Sadharanikaran menuntut sahridayas menjalani jenis dinamika otomatisasi yang sama dalam mengambil peran dari si pengirim dan si penerima secara bolak-balik. Di sini, kedua pihak (sahridaya-pengirim dan sahridaya-penerima) bertindak sebagai pengirim dan penerima secara bersamaan. Dan, proses encoding dan decoding juga terjadi secara bersamaan.

Ini tidak berarti bahwa umpan balik selalu mengafirmasi. Namun, umpan balik membuat proses komunikasi terus berlangsung. Salah satu fitur unik dari model sadharanikaran adalah bahwa pemberian umpan balik tidak universal. Proses umpan balik akan ada hanya ketika dibutuhkan. Hal ini diperlukan tentu dalam bentuk komunikasi fisik atau duniawi. Dalam komunikasi, umpan balik yang memadai yang dicari. Tapi setelah mencapai keadaan nididhyasana, tidak perlu umpan balik eksternal. Dalam keadaan ini, sahridayas menjadi mampu memahami satu sama lain dan mengalami hal yang sama secara jelas. Dalam keadaan sakshatkara, mereka yang telah tersahridaya sudah dalam keadaan moksha, yang merupakan tujuan akhir dari proses sadharanikaran.

Komunikasi, sebagaimana dipahami dalam model sadharanikaran, adalah proses mencapai sahridayata, yaitu, saling pengertian, kesamaan atau kesatuan. Hanya ketika pihak berkomunikasi mencapai sahridayata, dan pihak yang berkomunikasi mengidentifikasi satu sama lain sebagai sahridaya, maka proses komunikasi telah memenuhi syarat dan dapat dianggap sebagai sadharanikaran. Di sini, komunikasi adalah perpaduan antara pihak yang berkomunikasi (sahridayas) dengan maksud untuk tidak hanya membujuk satu atau yang lain tetapi untuk menikmati proses pada saat berbagi pesan. Selanjutnya, dari diskusi di bagian sebelumnya, kesimpulan berikut ini diambil pada:

Singkatnya, poin-poin berikut menyajikan garis besar MKS:

  1. Struktur model yang non-linear. Sturktur menggabungkan gagasan dua arah dari proses komunikasi sehingga muncul saling pengertian dari pihak yang berkomunikasi. Oleh karena itu bebas dari keterbatasan model komunikasi linier.
  2. Model ini menggambarkan bagaimana komunikasi yang sukses adalah mungkin dalam masyarakat Hindu di mana hierarki kompleks kasta, bahasa, budaya dan praktik keagamaan adalah sesuatu yang lazim. Sahridayata membantu mereka untuk berkomunikasi untuk menyerap hubungan yang tidak setara berlaku di masyarakat dan proses komunikasi yang sangat difasilitasi.
  3. Keterkaitan antara pihak yang berkomunikasi adalah sangat penting di sadharanikaran. Di sini bukan melihat penyebab hubungannya tetapi hubungan itu sendiri adalah sesuatu yang signifikan. Misalnya, hubungan guru-shishya selalu dianggap sakral dalam dirinya sendiri. Dan, tidak seperti teori komunikasi Barat yang mana tidak menekankan pada dominasi oleh sang pengirim pesan. Sebaliknya, model ini melihat kedua pihak yang berkomunikasi sebagai pihak yang sama-sama penting.
  4. Model ini menunjukkan bahwa abhivyanjana (encoding) dan rasaswadana (decoding) adalah kegiatan yang paling mendasar dalam komunikasi. Dengan kata lain, mereka adalah penentu dalam sadharanikaran.
  5. Hal ini menunjukkan bahwa perspektif Hindu pada komunikasi lebih menekankan pada aktivitas internal atau intrapersonal. Misalnya, kedua proses mengandung encoding dan decoding dari empat lapisan mekanisme dalam bentuk yang ideal. Komunikasi melibatkan pengalaman lainnya yang berjarak daripada rasionalitas objektif dari organ sensorik.
  6. Dengan tersedianya sandarbha (konteks), model ini menjelaskan bagaimana makna bisa diberikan pada sebuah pesan bahkan jika si pengirim tidak teridentifikasi ke penerima. Makna dimaksudkan pesan apapun dapat dipastikan karena konteks, tanpa menentukan maksud sebenarnya dalam pikiran pembicara hanya dengan mengambil faktor-faktor kontekstual ke rekening. Jadi karena konteks teks dapat mempertahankan ‘obyektif’ artinya.
  7. Ruang lingkup komunikasi dari perspektif Hindu yang luas. Seperti yang digambarkan dalam model, komunikasi yang lebih luas cukup untuk menangani semua dari tiga dimensi kehidupan: adhibhautika (fisik atau duniawi), adhidaivika (mental) dan adhyatmika (spiritual). Dalam konteks sosial atau duniawi, komunikasi adalah proses tersebut di mana, dalam kondisi ideal, manusia mencapai sahridayata. Dalam konteks mental, komunikasi adalah proses memperoleh pengetahuan yang benar serta pengalaman bersama yang bersifat mutual dan tentunya juga memiliki aspek spiritual.
  8. Tujuan dari komunikasi yang diusulkan dalam model ini tentu untuk mencapai generalisasi atau saling pengertian. Namun, tujuan tersebut tidak akan terbatas hanya sejauh ini. Sama seperti Hindu yang selalu menekankan untuk mencapai semua chatustayas purushartha (yaitu, empat tujuan hidup: artha, kama, dharma dan moksha), model ini juga menjadikan komunikasi sebagai sesuatu yang mampu mencapai seluruh tujuan ini. Dengan demikian, model ini seirama dengan pandangan Hindu.

Sanchar, seperti yang diharapkan dalam agama Hindu, telah terbukti sebagai sarana untuk mencapai moksha. Setelah menetapkan fakta bahwa yoga mengacu pada sistem atau metode untuk pencapaian moksha dan sudah mendirikan sanchar sebagai sarana tersebut, maka tak ada alasan apapun untuk tidak melihat sanchar juga sebagai yoga. Dengan demikian, dengan jelas bahwa proses komunikasi (sanchar) dapat diterima sebagai jenis yoga asalkan proses tersebut mampu sebagai sarana pencapaian moksha. Hindu telah menetapkan moksha sebagai tahapan tertinggi dari purushartha chatustaya (empat tujuan hidup manusia) dan telah memperkenalkan jalan yang beragam, seperti halnya beragam jenis yoga, untuk pencapaian moksha, dan sancharyoga dalam hal ini merupakan tambahan.

Istilah vidya telah diartikan dalam beragam makna dalam kitab-kitab Hindu. Terkadang ia digunakan hanya untuk merujuk pengetahuan teoritis dari kitab-kitab atau meditasi pada dewa-dewa (sebagai contoh Brihardaranyaka Upanishad-4.4.10; Ishavaya Upanishad-9). Namun, dalam arti positifnya, istilah yang sama digunakan untuk merujuk pada pengetahuan yang sesungguhnya, Brahmajnana, yang mengantarkan pada keabadian (Kena Upanishad-2.4). Kebalikan vidya yakni avidya, di mana pengetahuan mengenai dunia dan keduniawian. Pencapaian spiritualitas dan moksha adalah perhatian utama dari vidya.

Di dalam Hindu Ortodoks, martabat dari berbagai disiplin pengetahuan akan menjadi tinggi hanya jika hal tersebut berkualifikasi sebagai sebuah vidya (pengetahuan sejati). Hal ini berimplikasi bahwa setiap disiplin dari pengetahuan harus merupakan sebuah disiplin (shastra) tentang moksha pada puncaknya. Oleh sebab itu, ilmu komunikasi juga harus menjadikan pencapaian moksha sebagai tujuan utamanya agar sanchar-shastra bisa tergabung dalam Hindu Ortodoks. Dengan kata lain, ilmu komunikasi akan dianggap sebagai sebuah pengetahuan sejati (vidya) di dalam lingkungan Hindu jika, dan hanya jika, proses dari komunikasi memenuhi syarat untuk mencapai moksha.

Hal ini telah didiskusikan, dengan mengacu pada model sadharanikaran, komunikasi tersebut dapat menjadi tujuan dalam mencapai moksha. Dengan kata lain, komunikasi, sebagaimana yang diharapkan dalam Hinduisme, memiliki kemampuan tidak hanya sebagai sebuah proses sadharanikaran dalam kehidupan duniawi namun juga mampu dalam mencapai moksha di dalam kehidupan. Sebagai tambahan, hal tersebut telah dibentuk bahwa proses komunikasi (sanchar) dapat diterima sebagai sebuah jenis yoga. Hal ini telah memberikan dasar yang cukup untuk disiplin komunikasi agar dapat memenuhi syarat untuk dianggap sebagai vidya di dalam Hindu ortodoks.

Pendekatan komunikasi sebagai sebuah vidya tidak berimplikasi pada terbuangnya aspek avidya. Seperti yang dikatakan di atas, bentuk komunikasi Hindu berhubungan dengan semua dimensi kehidupan seperti adhibhautika (fisik atau fana), adhidaivika (mental) dan adhyatmika (spritual). Sedangkan disiplin komunikasi merupakan avidya di wilayah fisik dan mental, ia menjadi semacam vidya dengan menggabungkan gagasan dari sancharyoga. Ko-eksistensi dari aspek vidya dan avidya dalam disiplin komunikasi (sancharshastra) tidak mengundang berbagai situasi yang kontradiktif atau problematis; melainkan menaikkan signifikansi disiplin Hindu ortodoks. Karena seseorang yang mengetahui vidya dan avidya secara bersamaan mendapatkan keabadian lewat vidya dengan melewati kematian melalui avidya. (“Vidyamchavidyam cha yastadveda ubhayam saha, Avidyaya mrityum tirtva vidyayaamritamashunte”—Ishavasya Upanishad-11.)

Ada ruang untuk menggeneralisasikan konsep dan konstruk sahridayata dalam studi yang lebih luas dalam filsafat Hindu. Lebih jauh lagi, dengan membayangkan nilai positif dari sahridayata, teori sadharanikaran dan MKS memiliki ruang untuk digeneralisasikan dalam konteks global. Akar MKS yang berada dalam budaya Hindu tidak membatasi ruang lingkup untuk penguniversalisasian modelnya. Bahkan, ruang lingkup model komunikasi Hindu, seperti MKS, dalam mempromosikan perdamaian dan resolusi konflik harus dipahami dan digunakan secara tepat.

 

Kesimpulan

Bharata Natyashastra dan Bhartrihari Vakyapadiya merupakan sumber utama dalam teori dan praktek komunikasi Hindu. Sebagian besar konsep seperti sadharanikaran, sahridayata, rasaswadana, sakshatkara, dan lain-lain adalah konsep-konsep formal yang secara tegas didirikan pada puisi, estetika dan linguistik bahasa Sansekerta serta disiplin lain dari sistem filosofi pengetahuan agama Hindu.

Sadharanikaran sebagai konsep/teori tidak harus dibingungkan dengan Model Komunikasi Sadharanikaran (MKS). Sadharanikaran sebagai konsep/teori, yang merupakan salah satu teori yang signifikan dalam puisi sansekerta dan disiplin lainnya, memiliki akarnya pada kitab Natyashastra karangan Baratha Muni dan diidentifikasi dengan Bhattanayaka. Padahal, MKS mengacu pada model komunikasi, yang mengacu pada konsep klasik/teori sadharanikaran yang bersama dengan sumber daya lainnya dalam rangka untuk memvisualisasikan (teori) komunikasi dalam perspektif Hindu.

Asumsi meta-teoritis dari model ini bisa kita telusuri dalam Vedanta. Cara Hindu berkomunikasi tentu menekankan pada aktivitas internal atau intrapersonal. Hal ini dipahami bahwa abhivyanjana dan rasaswadana adalah kegiatan mendasar dalam komunikasi, dan dalam komunikasi kehidupan Hindu melibatkan pengalaman lainnya yang berjarak dari rasionalitas objektif dari organ sensorik. Kecenderungan ini memfasilitasi konsep sahridayata serta yang lainnya yang akan diwujudkan secara praktis.

*) Dosen Undiksa

 

Daftar Pustaka

 

Adhikary, Nirmala Mani. 2006. Understanding Mass Media Research; prashanti Pustak Bhandar, Ktm.

Adhikary, N. M. 2008. The Sadharanikaran Model and Aristotle?s Model of Communication: A Comparative Study. Bodhi: An Interdisciplinary Journal (volume 1 and 3 Bodhi)

Adhikary, N. M. 2010. Sancharyoga: Approaching Communication as a Vidya in Hindu Orthodoxy. China Media Research

Agus M. Hardjana. 2003. Komunikasi  Intrapersonal & Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius.

Barnlund, D. 1968. Interpersonal Communication  Survey and Study. Boston-USA: Houghton Mifflin

Daryanto. 2011. Ilmu Komunikasi. Bandung: PT Sarana Tutorial  Nurani Sejahtera.

DeVito, J. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Terjemahan Agus Maulana. Jakarta: Profesional Books

Pillai, K. Raghavan. 1971. The Vakyapadiya. Delhi: Motilal Banarsidass.

Rakhmat,  J. 2001. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi.  Bandung: PT Remaja Rosda Karya

————-  1989. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung:  Remajakarya

[1] Bharata Muni menjelaskan delapan rasa: Sringara (erotis), Hasya (humor), Karuna (Kesedihan), Raudra (kemarahan), Vira (heroik), Bhanyanaka (luar biasa) Bibhatsa (jijik) dan Adbhuta (misteri)

[2] Sarvo ‘drista-phalan arthan agamat pratipadayate viparitam cha sarvatra sakyate vaktum agame tasmad agamam kincht pramani-kritya vyavasthite tasmin ya kachid upapattir pramani-kritya vyavasthite tasmin ya kachid upapattir uchyamana pratipattav upodbalaktvam labhate. “telah diketehaui bersama bahwa efek yang tak terlihat akan didapat dengan melantunkan sesuatu dari teks suci. Namun selalu mungkin untuk mengatakan sesuatu yang bertentangan mengenai apa yang ada pada teks dan apa artinya. Dengan demikian, beberapa teks dibuat otentik dengan pendirian yang kuat. Di sana, menurut berbagai macam pemikiran dapat mendeterminasi agar menjadi sesuai”.

LEGAL POLITICS DESA ADAT DALAM MENGATUR KRAMA TAMIU (Studi Kasus di Desa Bayad, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar)

August 06, 2015 By: admin Category: Penelitian

Oleh :

I Putu Sastra Wibawa

 

Abstract

 

Pakraman Village courage and competent in organizing migrants / Krama Tamiu will surely come from the authority of the traditional village autonomy, also sourced from politics and made ??laws outlined by the provincial government of Bali itself. Krama Tamiu legal political arrangement certainly has a strategic rationale, one which is not just local government is involved in regulating Krama Tamiu , but also involve the participation of traditional village in implementation.

However, often times the legal implementation encountered some obstacles and problems, both technical and non-technical issues, such as the one that occurred in the village of Bayad . Thus the researchers wanted to examine and study more about the Legal Politics traditional village In regulate Krama Tamiu (Case Study on the village of Bayad, District Ubud, Gianyar regency)”.        Issues discussed include (1) Why Krama Tamiu settings need to be done in Bayad Pakraman Village? (2). How Krama Tamiu regulatory mechanisms in Bayad Pakraman Village? and (3) What are the implications and barriers to the implementation of the rules on Krama Tamiu in Bayad Pakraman Village?. Types of research that are used in discussing these issues is qualitative.

 

Keywords : Legal Politics, Krama Tamiu.

 

Bab I

Pendahuluan

 

1.1       Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia yang wilayahnya terdiri dari ribuan pulau-pulau terbagi menjadi beberapa provinsi, dan salah satunya bernama provinsi Bali. Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Bali juga memiliki berbagai keunikan dan kekhasan dalam hal seni dan budaya yang membedakannya dengan daerah lainnya di Indonesia. Karena sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, maka tentu saja budaya masyarakatnya sebagian besar dijiwai oleh ajaran-ajaran agama Hindu seperti tercermin dari sistem kepercayaan serta sistem organisasi kemasyarakatannya. Salah satu keunikan sekaligus ciri khas dari pulau Bali adalah adanya Desa Pakraman. Provinsi Bali memiliki ribuan Desa Pakraman dan salah satunya bernama Desa Pakraman Bayad yang terletak di Desa Kedisan, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar.

Selain Desa Pakraman, Bali juga memiliki berbagai keunikan lainnya diantara berbagai jenis tari-tarian tradisional, berbagai upacara agama yang unik dan sakral, tempat-tempat dengan pemandangan alam yang indah serta berbagai keunikan adat dan budaya lainnya. Berbagai keunikan tersebut tidak bisa lepas dari kebudayaan masyarakat Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu. Dengan berbagai keunikan yang dimiliki menyebabkan pulau ini banyak dikunjungi pendatang terutama turis asing dari berbagai belahan dunia.

Pesatnya industri kepariwisataan di Bali tentu saja akan memberikan banyak dampak positif terhadap masyarakat Bali, terutama dari segi ekonomi. Dengan perkembangan pariwisata yang begitu pesat, menyebabkan munculnya banyak lapangan kerja baru terutama yang berkaitan dengan industri kepariwisataan seperti industri jasa travel, hotel dan restaurant sampai industri rumah tangga seperti pengrajin barang antik yang menjual barang dagangannya di art shop-art shop juga menikmati manfaat ekonomi dari banyaknya wisatawan yang datang berkunjung ke Bali. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri selain berbagai dampak positif tersebut, juga ada dampak negatif yang ditimbulkan dari perkembangan pariwisata tersebut.

Berbagai dampak negatif tersebut diantaranya adalah semakin maraknya peredaran narkoba, banyaknya terbuka diskotik-diskotik yang menjual berbagai minuman keras, praktek pelacuran yang merajalela yang disebabkan selain untuk memenuhi segala kebutuhan para wisatawan asing juga karena pengaruh kebudayaan yang dibawa oleh para wisatawan asing yang mereka bawa dari negara asal mereka masing-masing. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (1990 : 32) yang menyatakan memang kegiatan pariwisata di Bali tak menutup kemungkinan munculnya kecemasan-kecemasan di kalangan masyarakatnya. Ada yang menganggap kondisi yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata akan dapat melemahkan sendi-sendi kebudayaan setempat. Seperti misalnya nilai-nilai kebudayaan setempat akan bisa terseret oleh arus komersialisasi.

Bali bagaikan gula yang menyebabkan semut-semut pun berdatangan. Melesatnya pembangunan industri kepariwisataan menjadikan daerah ini diserbu pendatang. Mereka yang datang pun banyak jenisnya. Ada yang datang membawa modal baik modal uang untuk memulai suatu usaha ataupun modal keahlian untuk bekerja sesuai dengan kemampuan yang dimiliki tetapi ada juga pendatang yang datang hanya sekedar untuk mengadu nasib tanpa berbekal modal dan keahlian apapun.

Pendatang yang datang tanpa membawa keahlian dan skill inilah yang bisa menimbulkan berbagai permasalahan sosial karena untuk mempertahankan hidupnya mereka bisa melakukan tindakan apapun seperti tindak pidana pencurian, perampokan, pemerkosaan dan bahkan pembunuhan, seperti yang akhir-akhir ini berita seperti itu semakin sering dimuat  dalam berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik. Kejadian yang paling menyesakan akibat dari adanya pendatang liar yang tidak jelas asal usul serta tujuannya datang ke Bali adalah kejadian Bom Bali I dan II. Tentu kita semua tidak akan pernah bisa melupakan kejadian terorisme terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut menelan ratusan korban jiwa meninggal dunia. Semua kejadian terorisme tersebut berawal dari lemahnya pengawasan kita semua baik pemerintah maupun masyarakat terhadap para pendatang dari luar Bali.

Untuk mengawasi keberadaan penduduk pendatang/krama tamiu, terutama penduduk liar yang tidak mempunyai kelengkapan administrasi seperti KTP atau KK, selain peran dari pemerintah juga peran masyarakat dalam hal ini melalui Desa Pakraman sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan Desa Pakraman memiliki otonomi tersendiri berbeda dengan Desa Dinas.

Pengaturan dan penertiban para penduduk pendatang/krama tamiu secara selektif dan berkesinambungan tentu harus senantiasa dilakukan untuk meminimalisasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya penduduk pendatang/krama tamiu tersebut, dan Desa Pakraman dengan otonomi yang dimilikinya diharapkan dapat ikut berperan dalam melakukan pengaturan dan penertiban tersebut mengingat asumsi bahwa semua wilayah di Pulau Bali habis dibagi oleh Desa Pakraman kecuali beberapa wilayah yang memang tidak dikuasai oleh Desa Pakraman. Jadi bisa dikatakan kalau pulau Bali 99% wilayahnya merupakan bagian dari Desa Pakraman.

Keberanian dan berwenangnya Desa Pakraman dalam mengatur penduduk pendatang/ krama tamiu tentunya selain berasal dari kewenangan otonomi desa adat, juga bersumber dari politik hukum yang digariskan dan dibuat oleh pemerintah provinsi Bali sendiri. Politik hukum pengaturan krama tamiu tersebut tentunya memiliki dasar pertimbangan yang strategis, dimana salah satunya tidak hanya pemerintah daerah saja yang dilibatkan untuk penertiban krama tamiu, namun juga dilibatkannya peran serta Desa Adat dalam pelaksanaannya.

Akan tetapi, sering kali dalam pelaksanaan kebijakan hukum tersebut menemui beberapa hambatan dan masalah, baik masalah teknis maupun non teknis, seperti yang terjadi salah satunya di Desa Pakraman Bayad. Dengan demikian peneliti ingin meneliti dan mengkaji lebih dalam tentang “Legal Politics Desa Adat Dalam Mengatur Krama Tamiu (Studi Kasus di Desa Bayad, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar)”.

1.2       Isu Hukum

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka isu hukumnya sebagai berikut

  1. Mengapa pengaturan krama tamiu perlu dilakukan di Desa Pakraman Bayad ?
  2. Bagaimanakah mekanisme pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad ?
  3. Apakah implikasi dan hambatan penerapan aturan terhadap krama tamiu di Desa  Pakraman Bayad ?

 

 

Bab II

Legal Politics Desa Adat Dalam Mengatur Krama Tamiu

 

2.1       Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Produk Hukum di Bali

  1. Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik

Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada keseimbangan politik, definisi kekuasaan, evolusi ideologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii).

Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prakteknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.

Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan (Mieke Komarat. al, 2002 : 91).

Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undangan oleh suatu institusi politik yang sangat dpengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan (M.Kusnadi, SH., 2000 : 118). Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.

Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitivisme adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.

Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.

Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari institusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya di bawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.

  1. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Produk Hukum di Bali

Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan Undang-Undang tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”

Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati (Walter Lippmann, 1999 : 21).

Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.

Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalau opini umum sampai mendominasi pemerintah, maka di sanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah (Ibid, : 15). Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Di sinilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.

 

2.2.      Perlunya Pengaturan Krama Tamiu Dilakukan Di Desa Pakraman  Bayad

 

  1. Faktor-Faktor Pendukung Perlunya Pengaturan Krama Tamiu Di Desa Pakraman Bayad

Dalam pembuatan pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, didasari oleh dua faktor yaitu, pertama faktor yang berasal dari Desa Pakraman itu sendiri (faktor internal), serta yang kedua adalah faktor yang berasal dari luar Desa Pakraman (faktor eksternal).

  • Faktor Internal Dalam Pembuatan Pararem Krama Tamiu Di Desa Pakraman Bayad

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam organisasi itu sendiri. Dalam pembuatan pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, yang menjadi faktor internalnya antara lain :

  1. Adanya Kepastian hukum yaitu :

Pararem krama tamiu yang dibuat oleh prajuru Desa Pakraman Bayad bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terutama bagi krama tamiu dan krama desa dalam melakukan perbuatan. Di dalam pararem krama tamiu sudah tertera jelas berbagai persyaratan krama tamiu, hak dan kewajiban krama tamiu, serta sanksi apabila krama tamiu melakukan pelanggaran. Sehingga dengan demikian, adanya pararem krama tamiu tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi krama tamiu dan krama desa dalam melakukan perbuatan dan tindakan-tindakan di Desa Pakraman Bayad, karena telah ada dasar hukum yang jelas yang mengatur tindakan-tindakan yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan.

  1. Menjaga Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat

Adanya pengaturan yang jelas mengenai krama tamiu, akan dapat meminimalisasi tindak kejahatan oleh penduduk pendatang, karena telah ada langkah-langkah filterisasi (penyaringan) yang ketat terhadap krama tamiu, mulai dari krama tamiu tersebut datang hingga terus dilakukan pendataan secara berkala rutin setiap bulan selama krama tamiu tersebut tinggal di wilayah Desa Pakraman Bayad. Sehingga mereka yang datang dan tinggal di lingkungan Desa Pakraman Bayad benar-benar memiliki asal-usul serta tujuan yang jelas, serta ada sanksi yang tegas dan nyata apabila krama tamiu melakukan pelanggaran ketentuan pararem. Dengan adanya sanksi tersebut, menyebabkan krama tamiu tidak berani melakukan tindakan yang melanggar isi pararem seperti mencuri dan berkelahi ataupun melakukan perbuatan lainnya yang dapat menggangu keamanan masyarakat karena dapat dikenai sanksi.

  1. Adanya Aspirasi Krama Desa

Pembentukan pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, didahului dari adanya aspirasi masyarakat krama desa agar ada peraturan yang jelas yang mengatur tentang keberadaan krama tamiu di lingkungan Desa Pakraman Bayad. Aspirasi masyarakat lewat mulut ke mulut dan menjadi desas-desus di lingkungan krama desa, akan tetapi hal tersebut tidak disampaikan langsung oleh krama desa ketika ada paruman adat, tapi hanya baru sebatas pembicaraan antar masyarakat di warung-warung. Dari desas-desus ini, maka prajuru adat Desa Pakraman Bayad membentuk tim independen untuk menyusun draf pararem krama tamiu Desa Pakraman Bayad.

  1. Meningkatkan Daya Saing Krama Desa Terhadap Krama Tamiu

Dengan dikeluarkanya pararem mengenai pengaturan krama tamiu tersebut, telah berkontribusi nyata terhadap peningkatan daya saing masyarakat lokal (krama desa) terhadap krama tamiu, terutama dalam bidang usaha dan tenaga kerja. Dimana dengan diterapkanya pararem tersebut menyebabkan banyak krama tamiu yang memutuskan berhenti mengontrak toko ataupun berhenti bekerja dan pindah tempat tinggal, sehingga menyebabkan pengusaha dan tenaga kerja lokal (krama desa) semakin terangsang untuk memulai suatu usaha dan peluangnya menjadi semakin besar karena berkurangnya saingan. Di samping itu juga, krama desa etos kerjanya menjadi semakin meningkat agar tidak kalah bersaing dengan krama tamiu. Dengan situasi yang demikian diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan krama desa.

  1. Menjaga Kelestarian Adat-Istiadat Serta Budaya Masyarakat

Berbagai budaya asing yang dibawa oleh wisatawan mancanegara, baik yang positif maupun negatif, telah mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat Bali. Dalam hal inilah diharapkan peran Desa Pakraman dengan otonominya dapat menjaga kelestarian adat dan budaya masyarakat di Desa Pakraman.

Sirtha (2008 : 105-106) menyatakan; dalam aspek sosial, pengaruh modernisasi tampak dari adanya perubahan warga desa, dari kehidupan tradisional menuju kehidupan yang dipandang modern. Pengaruh positif modernisasi terhadap kehidupan sosial ialah terbentuknya berbagai organisasi modern yang mempunyai jangkauan ke depan untuk meningkatkan martabat kehidupan bersama. Dampak negatif modernisasi terhadap aspek sosial masyarakat adat, antara lain bergesernya solidaritas sesama warga desa, menipisnya sistem kerja gotong-royong menjadi sistem upah.

Dalam Perda provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman, dalam pasal (5) huruf (e) dinyatakan bahwa tugas dan wewenang Desa Pakraman adalah “membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan “paras-paros, segilik-saguluk, salunglung-sabayantaka (musyawarah-mufakat)”.

Pengaturan kegiatan warga masyarakat dalam awig-awig dan pararem Desa Pakraman dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap warisan budaya Bali pada umumnya dan budaya lokal setempat pada khususnya, sehingga mereka berperan aktif dalam melindungi, memelihara, memperbaiki, mengembalikan pada bentuk aslinya, menyesuaikan kembali, dan membentuk kembali benda-benda budaya. Contohnya, pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad bisa meminimalisasi penjualan tanah yang dilakukan oleh krama desa sehingga dapat melestarikan lingkungan palemahan desa.

  • Faktor Eksternal Dalam Pembuatan Pararem Krama Tamiu Di Desa Pakraman Bayad

Faktor eksternal merupakan faktor dari luar Desa Pakraman yang mendorong terbentuknya pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad. Yang dimaksud faktor eksternal dalam hal ini adalah adanya tuntutan dari pemerintah dalam melaksanakan tertib administrasi kependudukan. Tuntutan dari pemerintah yang dimaksud adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem Tahun 2002 Tentang Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang dan Kesepakatan Bersama Gubernur Bali Dengan Bupati/Walikota Se Bali Nomor 153 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan Di Provinsi Bali. Dalam huruf A angka (3) Surat Edaran Gubernur Bali tersebut dinyatakan “kedatangan penduduk pendatang wajib didaftarkan kepada Kepala Desa/Lurah”, jo pasal 3 angka (5) Kesepakatan Bersama Gubernur Bali Dengan Bupati/Walikota Se Bali Nomor 153 Tahun 2003 menyatakan “pendaftaran penduduk dilaksanakan oleh Desa Dinas/Kelurahan dapat dibantu Desa Pakraman dalam rangka tertib administrasi kependudukan di bawah kepengawasan Bupati/Walikota”.

2.3       Mekanisme Pengaturan Krama Tamiu Di Desa Pakraman Bayad

Pararem pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, melewati beberapa mekanisme mulai dari perancangan draf isi pararem sampai pararem tersebut disahkan untuk kemudian disosialisasikan dan diterapkan pada masyarakat. Berikut akan dijelaskan tentang  mekanisme pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad.

2.3.1    Paruman Adat Sebagai Wadah Aspirasi Masyarakat

Paruman adat/paruman desa merupakan kekuasaan tertinggi di Desa Pakraman dan bukan terletak di tangan Bendesa, seperti yang diungkapkan oleh I Gde Pitana bahwa kekuasaan tertinggi pada Desa Adat terdapat pada rapat anggota atau sangkep (paum, parum), sedangkan bendesa adat hanya berfungsi sebagai pemegang mandat dari krama desa adat, di dalam melaksanakan berbagai tugas dan fungsi Desa Adat atau mengorganisasikan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan eksistensi Desa Adat (Pitana, 1994 : 142).

Setelah melalui diskusi yang cukup panjang akhirnya dicapai kesepakatan intern mengenai ketentuan-ketentuan tentang pengaturan krama tamiu yang kemudian dituangkan dalam sebuah draf peraturan. Draf peraturan tersebut kemudian disosiaisasikan kepada krama desa dalam suatu rapat desa/paruman desa untuk selanjutnya didapatkan peraturan yang isinya disepakati oleh seluruh krama desa. Setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya pada tanggal 1 Desember 2004 dalam sebuah paruman desa, dengan dipimpin oleh Bendesa Adat I Made Latra serta Kelihan Dinas I Ketut Sunarta, SS disepakati dan disahkan pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, seperti yang ada saat ini.

2.3.2    Sosialisasi Sebagai Penerapan Hukum Progresif

Berikut ini adalah langkah-langkah sosialisasi yang dilakukan oleh prajuru Desa Pakraman Bayad mengenai pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad.

  1. Sosialisasi Oleh Prajuru Adat

Setelah draf yang dibentuk oleh tim independen jadi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan tindakan sosialisasi isi draf tersebut kepada krama desa melalui paruman desa (musyawarah desa). Hal ini dimaksudkan agar proses demokrasi bisa berlangsung sehingga didapat hasil yang sesuai dengan kesepakatan bersama (musyawarah mufakat). Dalam rapat desa/paruman desa tersebut, kembali terjadi tawar-menawar mengenai apa yang nantinya akan dicantumkan dalam pararem.

Sosialisasi tentang pengaturan krama tamiu yang dilakukan oleh prajuru desa adat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah sosialisasi pada krama desanya melalui sangkepan umum/siar banjar. Sedangkan untuk selanjutnya yang bertugas mensosialisasikan isi pararem kepada krama tamiu adalah seluruh krama desa, terutama mereka yang menerima dan atau mengajak krama tamiu tinggal di lingkungannya. Sementara cara kedua untuk mensosialisasikan isi pararem adalah melalui pecalang dengan cara melakukan sosialisasi langsung kepada krama tamiu di tempat krama tamiu itu tinggal.

  1. Sosialisasi Oleh Pemilik Lahan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa krama desa sebagai pemilik lahan bertugas secara langsung untuk mensosialisakan mengenai isi pararem kepada para krama tamiu terutama mereka yang lahannya diminati/ditinggali oleh krama tamiu. Hal ini dapat dimengerti mengingat krama desalah (terutama yang memiliki lahan untuk dikontrak) yang pertamakali mengadakan kontak langsung, berkomunikasi dengan krama tamiu yang berminat pada lahan miliknya. Sehingga wajar apabila mereka diharapkan dapat memberikan sosialisasi mengenai adanya pararem krama tamiu, sehingga krama tamiu tersebut mempunyai bayangan apakah akan memutuskan tetap menyewa atau tidak. Akan tetapi, tugas pemilik lahan tidak hanya sebatas mensosialisasikan isi pararem saja, akan tetapi mereka juga bertugas dan wajib untuk melapor ke prajuru desa apabila ada krama tamiu yang ingin tinggal dan menyewa lahannya.

  1. Melalui Surat Salinan Putusan Paruman Desa/Pararem

Hasil keputusan rapat yang telah disahkan dalam sangkepan/paruman desa, kemudian dibuat dalam sebuah tulisan/salinan surat dengan judul “Pararem Krama Tamiu Desa Pakraman Bayad”. Dalam pararem tersebut telah dimuat berbagai persyaratan bagi krama tamiu yang ingin tinggal atau menyewa lahan/tempat di wilayah Desa Pakraman Bayad, besarnya uang pangkal (iuran baru masuk) serta iuran/donasi wajib perbulan, hak dan kewajiban krama tamiu serta sanksi apabila krama tamiu melanggar ketentuan pararem. Akan tetapi tidak semua warga/krama desa mendapatkan surat salinan pararem tersebut, tetapi hanya pihak-pihak tertentu saja yang membawanya seperti prajuru adat dan prajuru dinas serta pacalang.

Jadi di Desa Pakraman Bayad, sosialisasi pararem tentang pengaturan krama tamiu, selain dengan cara lisan melalui pemilik lahan, juga dilakukan dengan memberikan surat salinan putusan pararem yang berupa fotocopy kepada setiap krama tamiu yang tinggal atau menyewa lahan di lingkungan Desa Pakraman Bayad. Dalam mensosialisasikan salinan putusan pararem tersebut, secara aturan di Desa Pakraman dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama hasil fotocopy pararem diberikan oleh prajuru desa atau pecalang pada saat krama tamiu datang untuk melapor bahwa akan tinggal atau menyewa lahan di Desa Pakraman Bayad, dan yang kedua adalah secara door to door (pintu ke pintu) dimana pecalang sambil menagih iuran wajib, juga melakukan sosialisasi dengan memberikan hasil fotocopy salinan putusan pararem kepada setiap krama tamiu yang belum mendapatkannya.

2.4       Implikasi Dan Hambatan Penerapan Aturan Terhadap Krama Tamiu Di Desa Pakraman Bayad

  • Implikasi Penerapan Aturan/Awig-Awig Kepada Krama Tamiu

Proses pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, juga memiliki implikasi/konsekuensi, seperti implikasi hukum dan implikasi sosial.

2.4.1    Implikasi Hukum

Karena pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad dilakukan dengan dua jenis hukum yang berbeda (hukum adat dan hukum nasional), maka implikasi hukum yang timbul juga meliputi dua aspek yaitu implikasi hukum adat (awigawig) dan implikasi hukum nasional.

  1. Implikasi Hukum Adat (Awig-Awig)

Dalam setiap penegakan hukum, agar hukum tersebut dapat berjalan dengan baik dan efektif maka selalu ada faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja hukum tersebut berfungsi di masyarakat. Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A menyatakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) petugas/penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat (Zainuddin Ali, 2007 : 62-65). Dalam Desa Pakraman yang menjadi kaidah/substansi hukum adalah awig-awig dan pararem, petugas/penegak hukum adalah prajuru Desa Pakraman dan pecalang, sarana dan fasilitas yang digunakan aparat penegak hukum di Desa Pakraman tidak selengkap aparat penegak hukum Negara, akan tetapi biasanya hanya menggunakan pulpen dan buku catatan serta radio wireless, serta kesadaran masyarakat yaitu kesadaran warga/krama desa dan krama tamiu dalam mentaati setiap peraturan yang berlaku.

Dalam hukum adat di Desa Pakraman Bayad, apabila pelanggaran yang terjadi masih tergolong ringan, maka biasanya tidak langsung dikenai sanksi, akan tetapi diberi peringatan terlebih dahulu. Sedangkan untuk pelanggaran yang tergolong berat, biasanya dikenakan dua (2) jenis sanksi, yaitu pertama adalah sanksi penyegelan, dan yang kedua adalah sanksi administrasi (berupa pembayaran sejumlah uang) yang juga disertai sanksi adat (upacara pecaruan). Sanksi penyegelan diberikan kepada krama tamiu yang tidak memenuhi kewajibannya membayar iuran sampai batas waktu yang ditentukan serta bagi krama tamiu yang tinggal tidak sesuai tujuan awalnya. Sedangkan sanksi administrasi yang disertai sanksi adat diberikan kepada krama tamiu yang melakukan pelanggaran cukup berat serta dianggap meresahkan masyarakat seperti pencurian dan perkelahian.

  1. Implikasi Hukum Nasional

Hukum nasional yang berisi pengaturan penduduk pendatang/krama tamiu diantaranya adalah Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem Tahun 2002 Tentang Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang dan Kesepakatan Bersama Gubernur Bali Dengan Bupati/Walikota Se Bali Nomor 153 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan Di Provinsi Bali. Dalam peraturan tersebut, diantaranya diatur mengenai persyaratan penduduk pendatang serta pendaftaran penduduk pendatang dilaksanakan oleh Desa Dinas/Kelurahan yang dapat dibantu oleh Desa Pakraman.

Sidak penduduk pendatang dilaksanakan oleh Desa Dinas, dikarenakan yang berwenang untuk mengurus tertib administrasi kependudukan adalah Desa Dinas, sedangkan Desa Pakraman/Desa Adat wewenangnya adalah mengurus masalah adat dan agama. Apabila pada saat melakukan sidak ditemui krama tamiu yang belum/tidak melengkapi diri dengan kelengkapan administrasi kependudukan maka akan dikenakan sanksi dari Desa Dinas/Perbekel. Mengenai pemberian sanksi, apabila pelanggaran masih tergolong ringan (krama tamiu belum melengkapi diri dengan kelengkapan administrasi), maka KTPnya akan disimpan di Kantor Desa untuk ditukar dengan Kipem. Sementara bagi pendatang/krama tamiu yang dalam sidak diketahui sama sekali tidak melengkapi diri dengan kelengkapan administrasi, maka akan langsung dipulangkan ke daerah asalnya.

2.4.2    Implikasi Sosial

            Kehadiran krama tamiu/pendatang di wilayah Desa Pakraman Bayad mempunyai implikasi/dampak positif dan negatif, dimana dampak positifnya antara lain adalah Desa Pakraman Bayad mendapat uang pemasukan untuk menunjang pembangunan dan kegiatan keagamaan serta adat dari uang retribusi wajib perbulan krama tamiu, dan juga kehadiran krama tamiu telah memotivasi krama desa untuk lebih meningkatkan etos kerjanya sehingga tidak kalah bersaing dengan krama tamiu/pendatang.  Sedangkan dampak negatifnya adalah beberapa krama desa merasa kalah bersaing karena banyaknya pedagang krama tamiu/pendatang di wilayah Desa Pakraman Bayad, serta beberapa krama tamiu yang berjualan makanan keliling (seperti bakso) banyak yang membuang sampah sembarangan sehingga merusak kebersihan lingkungan Desa Pakraman Bayad. Akan tetapi secara umum keamanan dan ketertiban masyarakat tetap terjaga serta budaya dan adat istiadat masyarakat lokal tidak terganggu dengan adanya krama tamiu.

 

2.5         Hambatan Penerapan Aturan Kepada Krama Tamiu Di Desa Pakraman Bayad

  1. Hambatan Internal (Dari Dalam Desa Pakraman)

Hambatan internal  pengaturan krama tamiu antara lain yang dilakukan oleh krama desa adalah seperti mereka yang menerima pendatang tidak melapor sampai batas waktu 2×24 jam. Kesadaran masyarakat pemilik tempat kos-kosan kurang begitu baik karena tidak melapor pada pihak yang berwenang padahal mengetahui ada krama tamiu baru yang menginap di tempat kosnya dan juga mengetahui kalau ada aturan setiap krama desa wajib melapor pada prajuru desa atau pecalang dalam waktu tidak boleh lebih dari 2×24 jam apabila ada krama tamiu baru yang tinggal di tempatnya. Kurangnya koordinasi antara krama desa pemilik tempat kontrakan dan kos-kosan dengan prajuru desa dan pecalang sedikit banyak telah menyebabkan hambatan dalam melakukan pengaturan terhadap krama tamiu.

  1. Hambatan Eksternal (Dari Krama Tamiu)

Secara umum hambatan yang sering ditemui dalam melakukan pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad adalah pada saat meminta uang retribusi/iuran wajib perbulan, dimana biasanya ada beberapa krama tamiu yang nunggak/tidak melakukan pembayaran. Akan tetapi pada akhirnya kebanyakan dari mereka akan melunasi pembayaran pada akhir tahun.

2.6       Politik Hukum Progresif Sebagai Upaya Penyelesaian Masalah Krama Tamiu

Mengenai berbagai permasalahan yang masih ditemui dalam melakukan pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, mungkin solusinya bisa menggunakan hukum progresif agar metode penyelesaian masalah yang digunakan bisa memberikan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat. Berbagai permasalahan dalam pengaturan krama tamiu di Desa Pakraman Bayad serta upaya penyelesaiannya menurut hukum progresif diantaranya ;

Mengenai krama desa yang tidak melapor apabila ada krama tamiu yang tinggal di tempatnya, solusinya adalah dengan menerapkan sanksi kepada krama desa tersebut seperti yang tertuang dalam perarem yaitu krama desa yang tidak melapor benar-benar dikenakan sanksi sebesar Rp 1.000 x jumlah KK. Sehingga kedepan tidak ada lagi krama desa yang tidak melapor apabila ada krama tamiu yang tinggal di tempatnya.

Permasalahan tentang tunggakan pembayaran uang retribusi wajib setiap bulan oleh krama tamiu mungkin bisa disiasati dengan melihat usaha yang digeluti oleh krama tamiu yang bersangkutan. Hal ini dengan mempertimbangkan skala usaha yang dilakukan oleh krama tamiu. Apabila skala usahanya kecil uang retribusinya juga dikecilkan, sedangkan untuk skala usaha yang cukup besar uang retribusinya disesuaikan dengan ketentuan pararem yang sudah ada. Dengan penyesuaian uang retribusi tersebut, daya bayar krama tamiu bisa disesuaikan sehingga keterlambatan pembayaran uang retribusi wajib bulanan bisa diminimalisasi.

Sedangkan untuk krama tamiu yang merekayasa laporan dengan mengatakan jumlah anak buah yang dilaporkan lebih sedikit dari jumlah anak buah sesungguhnya yang diajak, solusinya adalah dengan memberikan denda berupa uang dengan jumlah yang cukup besar, sehingga apabila krama tamiu tersebut diketahui berbohong, maka sanksi denda yang besar akan dikenakan padanya. Dengan demikian, krama tamiu tersebut akan takut dan berpikir dua kali sebelum berbohong dalam membuat laporan pada kelihan dinas ataupun pecalang.

 

 

Bab III     

Penutup

3.1       Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, diantaranya :

  1. Bahwa perlunya pengaturan krama tamiu dilakukan di Desa Pakrama Bayad, disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : (a) Faktor Internal seperti : adanya kepastian hukum, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, adanya aspirasi masyarakat, meningkatkan daya saing krama desa terhadap krama tamiu serta untuk menjaga adat-istiadat dan budaya masyarakat, dan (b) Faktor eksternal yaitu adanya tuntutan dari pemerintah, dengan dikeluarkannya Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem Tahun 2002 Tentang Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang dan Kesepakatan Bersama Gubernur Bali Dengan Bupati/Walikota Se Bali Nomor 153 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan Di Provinsi Bali.
  2. Bahwa  mekanisme  pengaturan  krama  tamiu  di  Desa  Pakraman  Bayad  meliputi  beberapa  tahapan,  diantaranya  :  Paruman  adat  sebagai wadah  aspirasi  masyarakat  dan  tindakan  sosialisasi  sebagai  penerapan  hukum progresif.  Tindakan  sosialisasi  pararem  krama  tamiu  di  Desa  Pakraman Bayad   dilakukan   dengan    beberapa   cara   antara   lain  ;  (a).   Sosialisasi   oleh prajuru adat, (b). Sosialisasi oleh pemilik lahan, (c). sosialisasi melalui surat salinan putusan paruman desa/pararem.
  3. Bahwa implikasi dan hambatan penerapan aturan terhadap krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, antara lain :
  4. Implikasi penerapan aturan/awig-awig kepada krama tamiu meliputi dua aspek yaitu ;
  5. Implikasi hukum, dimana implikasi hukum ada dua yaitu : pertama adalah implikasi hukum adat (awig-awig), seperti dikenai sanksi penyegelan dan sanksi administrasi disertai upacara macaru satu mancan. Kedua adalah implikasi hukum nasional, yaitu krama tamiu dikenai sanksi pemulangan ke daerah asalnya apabila sama sekali tidak melengkapi diri dengan kelengkapan administrasi kependudukan.
  6. Implikasi sosial dari penerapan pararem krama tamiu di Desa Pakraman Bayad antara lain; implikasi positifnya yaitu uang iuran dari krama tamiu dapat membantu pembangun fisik maupun non fisik serta kegiatan keagamaan dan adat serta meningkatkan etos kerja masyarakat lokal (krama desa) Desa Pakraman Bayad. Sedangkan implikasi sosial yang bersifat negatif dari kehadiran krama tamiu adalah banyak pedagang dan pengusaha lokal yang kalah bersaing, serta krama tamiu kurang menjaga kebersihan lingkungan Desa Pakraman Bayad, terutama yang bekerja sebagai pedagang makanan keliling.
  7. Hambatan penerapan aturan kepada krama tamiu di Desa Pakraman Bayad, terdiri dari; (1) Hambatan internal (dari dalam Desa Pakraman) yaitu krama desa yang memiliki tempat kontrakan maupun kos-kosan tidak melapor, padahal dia mengetahui tempatnya ditinggali oleh krama tamiu baru, dan (2) Hambatan eksternal (dari krama tamiu) yaitu berupa ketidak lancaran pembayaran uang retribusi/iuran wajib perbulan. Akan tetapi saat penutupan akhir tahun semua krama tamiu harus melunasi tunggakannya.
  8. Politik Hukum progresif sebagai upaya penyelesaian masalah krama tamiu, diantaranya :
  9. Agar krama desa mau melapor apabila ada krama tamiu yang tinggal di tempatnya, maka solusinya adalah dikenakan sanksi sebesar yang tercantum dalam awig-awig yaitu Rp 1.000 x jumlah KK, sehingga dengan demikian krama desa akan takut dan akan melaporkan keberadaan krama tamiu di tempatnya.
  10. Tentang tunggakan pembayaran uang retribusi solusinya adalah besarnya uang retribusi disesuaikan dengan skala usaha yang dilakukan krama tamiu. Dengan demikian daya bayar krama tamiu akan lebih sesuai sehingga dapat meminimalisasi jumlah tunggakan uang retribusi.
  11. Upaya penyelesaian masalah bagi krama tamiu yang merekayasa laporan tentang jumlah anah buah yang diajak, sebaiknya krama tamiu tersebut jangan hanya diberikan peringatan, akan tetapi dikenakan denda berupa uang dengan jumlah yang cukup besar. Sehingga dengan demikian mereka akan jera dan tidak berani lagi merekayasa laporan.

3.2   Saran-Saran

  1. Untuk Pecalang Desa Pakraman Bayad, dalam melakukan tugasnya yaitu menagih uang retribusi rutin perbulan sebaiknya tetap sambil membawa hasil fotocopy pararem krama tamiu, karena tidak semua krama tamiu yang tinggal di sana memiliki fotocopy pararem. Jadi apabila saat menagih iuran wajib perbulan ditemui krama tamiu yang berbuat tidak baik seperti membuang sampah sembarangan, agar bisa diberi penjelasan yang lebih rinci tentang hak dan kewajiban mereka sebagai krama tamiu, sehingga keamanan, ketertiban dan kebersihan lingkungan di Desa Pakraman Bayad tetap terjaga.
  2. Untuk Pecalang dan Kelihan Dinas Desa Pakraman Bayad agar lebih meningkatkan kerjasama dan koordinasi dengan aparat dinas dari kantor Perbekel terkait masalah kependudukan, terutama mengenai krama tamiu yang tinggal di sekitar wilayah Desa Pakraman Bayad. Karena dengan koordinasi yang baik, akan semakin meminimalisasi jumlah krama tamiu yang illegal (tidak melengkapi diri dengan tertib administrasi kependudukan).
  3. Untuk Bendesa Desa Pakraman Bayad, dana yang didapat dari hasil pemungutan uang retribusi krama tamiu, hendaknya tidak hanya digunakan untuk semata-mata pembangunan fisik di Desa Pakraman ataupun hanya untuk kegiatan upacara keagamaan dan adat saja. Akan tetapi dialihkan sedikit untuk membiayai kegiatan yang sifatnya melatih mental anak-anak dan remaja agar mencintai seni dan budaya Bali, seperti untuk kegiatan pasraman maupun untuk pembiayaan latihan menari dan menabuh gamelan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali, Zainuddin. H, 2007. Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika

Arinanto,Satya,2008, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia.

Arifin, Imron.1996.Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan, Malang: Kalimasahada Press.

Arikunto,Suharsimi.2006.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.Jakarta:

Rineke Cipta.

Asshiddiqie, Jimly 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Penerbit Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Azhary, H. Muhammad Tahir, 2003, Negara Hukum : Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Kencana.

Azwar,Saufuddin.2004.Metode Penelitian.Yogyakarta:Pustaka Fajar.

Barnett, Hilaer, 2002, Constitutional and Administrative Law, Queen Mary, University of London.London:  Cavendish Publishing Limited.

Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta: Rangkang Education.

Furchan,Arief.1992.Pengantar metodologi Penelitian Kualitatif. Surabaya:Usaha Nasional.

Hadi, Sutrisno.2000.metodologi Research1.Yogyakarta:Andi Offset.

Indrati, Maria Farida, 1998, Ilmu Perundang-Undangan (proses dan teknik penyusunan), Kanisius, Yogyakarta.

………………………, 2007, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Ibrahim, Anis, 2008, Legislasi Dan Demokrasi (Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum Dan Pembentukan Hukum di Daerah), In-Trans Publising, Malang.

Indroharto , 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Jakarta: Sinar Harapan.

Jendra, I Wayan.2011.Ensiklopedia Hindu.Denpasar: Penerbit Paramitha.

Komar, Mieke at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.

Kusnardi, Moh. dan Bintan  Saragih, 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945,Jakarta : Gramedia

Lubis, Todung Mulya, 1994, In Search of Human Rights: Legal-Political dilemmas of Indonesia’s New Orde 1966-1990, Jakarta: Published by PT. Gramedia Pustaka Utama in coorperation with SPES Foundation.

Lippmann, Walter and the American Century by Ronald Steel, Publication: May 27, 1999. Publisher: Transaction Publishers .

  1. Tanya, Bernard, “Judicial Review dan Arah Politik Hukum, sebuah Perspektif”, Makalah untuk Seminar tentang Judicial Review dan Arah Politik Hukum di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 17 April 2006.

Mahfud, M.D, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

……………….., 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES   Indonesia, cetakan pertama.

Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undang Di Indonesia, Indo Hill, Co, Jakarta.

…………….., 1995, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

…………….., 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Fakultas Hukum UII Yogyakarta.

……………..,2003, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press,

Mantra, Ida Bagoes.2004.Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni.

Moleong, Lexy J.1998.Metodelogi Penelitian Kualitatif.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhadar, 2006. Viktimisasi Kejahatan di Bidang Pertanahan, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta, 2007, Refika Aditama, Bandung.

Pitana, I Gde. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Bali Post.

Rahardjo,Satjipto,2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku  Kompas.

…………………,2007, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (edisi ketiga), Surabaya, Airlangga University Press.

Rasjidi, lili dan IB.Wyasa Putra,2003,Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar maju.

 

S. Lev, Daniel, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.

Simarmata, Rikardo, The Life of Law Has Not Been Logic, Jurnal kerjasama  antara Forum Keadilan dan Huma  N0. 42, 19 PEBRUARI 2006.

Sirtha, I Nyoman. 2008. Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Di Bali. Penerbit : Udayana University Press.

Sunarno, Siswanto, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Usman,Sabian,2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Wiyono, Suko, 2006, Otonomi Daerah dalam Negara Hukum Indonesia,  Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Jakarta:Faza Media.

Wiyono, Suko, 2009. Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Kerangka Negara Hukum  yang Demokratis Berdasarkan Pancasila, Jakarta-Malang: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,  Volume I Nomor 2, Nopember 2009.

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik :Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

  • Kesepakatan Bersama Gubernur Bali Dengan Bupati/Walikota Se Bali Nomor 153 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan Di Propinsi Bali
  • Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B. Tapem Tentang Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang.
  • Jurnal PASUPATI ISSN 2303-0860

  • Memajukan SDM Hindu

    Salah Satu Karya Dosen STAH DNJ

    Memajukan SDM Hindu

  • Categories

  • Recent Posts

  • Archives

  • DHARMAGITA

    Mrdukomala

    Ong sembah ninganatha tinghalana de tri loka sarana

    Ya Tuhan sembah hamba ini orang hina, silahkan lihat oleh Mu penguasa tiga dunia

    Wahya dhyatmika sembahing hulun ijongta tanhana waneh

    Lahir bathin sembah hamba tiada lain kehadapan kakiMu

    Sang lwir Agni sakeng tahen kadi minyak saking dadhi kita

    Engkau bagaikan api yang keluar dari kayu kering, bagaikan minyak yang keluar dari santan

    Sang saksat metu yan hana wwang ngamuter tutur pinahayu

    Engkau seakan-akan nyata tampak apabila ada orang yang mengolah ilmu bathin dengan baik

  • STATISTIK