Tahun lalu, beberapa media sempat memanaskan pertarungan sengit tokoh-tokoh nasional yang berniat “hanya” untuk menjadi Ketua Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB). Aroma politik sempat dikabarkan mengemuka ketika seorang Menteri Kabinet Bersatu II diisukan ikut dalam bursa calon ketua. Menjadi gaduh karena beberapa konglomerat papan atas ikut bermain di dalamnya. Dus, sebuah ikatan alumni, ternyata dapat juga menjadi magnet untuk menarik kepentingan politik dan ekonomi!
Iluni atau Ikatan Alumni Universitas Indonesia (UI) telah lama dikenal luas bukan saja aktivitas produktif yang dilakukannya, tetapi tak terhitung tokoh nasional lahir dari Iluni untuk mewarnai sebagian perjalanan bangsa ini. Beberapa keputusan strategis Iluni bukan saja untuk kepentingan UI, tetapi juga untuk negara. Bertali-kelindan dengan ini, juga telah dilakukan beberapa perguruan tinggi besar lainnya.
Dua isu di atas sengaja saya apungkan hanya untuk memperlihatkan betapa alumni, dan menjadi alumni, dapat memainkan peran besar, bukan saja berpengaruh langsung untuk almamater yang membesarkannya, tetapi juga lingkungan sosialnya. Menjadi entitas, itulah ekspetasi tinggi untuk alumni. Bagaimana dengan alumni kita di perguruan tinggi agama Hindu?
Alkisah. Saya tidak perlu berpikir lama untuk memencet confirm ketika di-approve jejaring sosial untuk ikut dalam sebuah ikatan alumni di almamater ketika saya menyelesaikan kuliah di Bali. Sempat saya sumringah karena akhirnya bisa bertemu teman lawas, meski perjumpaan itu tidak pernah benar-benar nyata, tentu saja. Pelan dan pasti, saya merasa cukup eksis di fitur itu, tapi apa lacur, ternyata saya ke-GR-an karena aktif seorang diri, moderatornya menghilang tanpa pamit. Saya pun dengan status bersungut lalu menekan remove. Galau.
Tidak rela larut dalam kekecewaan, saya (akhirnya) memutuskan untuk menerima undangan seorang moderator yang kebetulan alumni, dan sempat menjadi mahasiswa saya. Sejujurnya, sangat lama saya cuek dengan undangan itu, terbersit menolaknya, sayangnya simbol not now enggan saya klik. “Saya kan bukan alumni perguruan tinggi ini, takut ah dibilang GR dan latah ikut-ikutan”, batin saya ketika itu. Tapi saya luluh juga karena sebagai bagian dari institusi yang dari rahimnya telah melahirkan banyak alumni, saya juga memiliki tanggung jawab moral untuk sekadar mengetahui apa saja aktivitas ikatan alumni ini, meski lagi-lagi hanya di dunia maya. Setelah menjadi observator yang pasif, keputusan getir harus saya ambil lagi, remove!
Kali ini saya merasa cukup benar, dan tentu saja berhak melakukan keputusan sepihak itu. Apa pasal? Setiap membaca beberapa status alumni, isinya memang tidak jauh dari curhat, sebuah kelaziman di jejaring sosial apa saja. Saya mahfum dengan fenomena lumrah itu. Namun yang selalu mampu mengernyitkan dahi saya adalah ketika harus membaca status tentang cerita horror yang tidak mengasyikkan saat-saat mereka kuliah dulu. Status seperti ini sama saja mengisahkan aib sang almamater di ruang publik, seperti mengajak bertikai-pangkai. Namun membiarkan fakta ini tanpa pembenahan juga bukan sikap yang arif.
Entahlah, saya mendefinisikan diri sebagai orang yang tidak resisten dengan kritik, meski bukan pengiman konstruktivisme. Saya juga bukan penghamba positivisme. Adilnya adalah apa yang kita gagas dan kita lakukan mesti produktif dan memberikan value menuju kemajuan dan perubahan, sekecil apapun itu.
Saya dapat memahami bahwa tidak semua perguruan tinggi memiliki habitus seperti prolog di atas, yang mungkin bagi sebagian orang dianggap idealistik. Namun ketika status facebook beberapa alumni cenderung menistakan almamaternya, patut diduga ada tendensi dibaliknya.
Bagaimana pun, dinamika yang mewarnai sebuah perguruan tinggi tidak melulu melahirkan energi positif, karena tidak sedikit memunculkan conflict of interest entah dari mahasiswa, dosen, hingga pengayomnya sendiri, sebut saja yayasan, jika perguruan tinggi itu swasta. Univ. Trisakti dan Univ. Atmajaya, dua perguruan tinggi yang dianggap wah pernah terbelit situasi sulit yang akhirnya melilit kehidupan kampus secara umum.
Sejatinya banyak hal yang bisa dilakukan seorang alumni jika memang benar mereka adalah output dari sebuah proses yang benar, bukan sebaliknya, terkooptasi oleh oknum dosen misalnya, yang karena pernah kecewa, dikecewakan atau mengecewakan institusi, lalu memobilisasi alumninya sendiri. Padahal peran alumni akan semakin besar jika suasana batin mereka masih terikat kuat dengan institusinya (baca: perguruan tinggi).
Pendek alasan, alumni jangan ikut menjadi broker untuk almamaternya sendiri. Inheren dengan itu, oknum dosen juga jangan menjadi aktor yang ikut merendahkan sistem aguron-guron yang (mestinya) menjiwai pembelajaran di perguruan tinggi agama. Itulah parampara yang sesungguhnya.
Kontribusi menjadi alumni mungkin tidak harus aktif dengan wujud fisik yang selalu hadir dalam setiap event perguruan tinggi. Dukungan moral dan material dapat diwujudkan ke dalam pelbagai saluran yang sehat: aktif menjadi pengurus ikatan alumni–lebih produktif jika tidak hanya di dunia maya yang hampa–menjadi donatur tetap, membuka akses, membangun jejaring, memfasilitasi, menjadi orang tua asuh bagi mahasiswa tidak mampu, menjadi karyawan, dosen, dan setumpuk peran bermartabat lainnya.
Sebaliknya perguruan tinggi sebagai almamater juga harus tetap memperlakukan alumni sebagaimana layaknya orang tua yang akan selalu membuatnya nyaman sebagai anak, meski telah “kawin” dan tinggal jauh. Komunikasi dan relasi efektif menjadi medium yang harus dibangun. Bukankah relasi sisya-guru berlangsung seumur hidup, dan tidak akan pernah mati meski hubungan itu, sebagaimana halnya dinamika kampus, pernah mengalami pasang surut emosi, bahkan disharmoni.
Namun coba kita buka kembali epos Mahabharata. Kisah Bhagawan Drona yang dianggap berpihak masih dihormati sisyanya, bahkan Bima, sang werkudara tetap menjalankan perintah sang guru untuk mencari tirtha amerta ring telenging samudera, meski itu membahayakan nyawanya. Sampai akhir hayatnya, Drona masih dan akan selalu mengakui Duryodhana dan 99 saudaranya sebagai sisya, meski satus korawa ini telah distigma sebagai raksasa adharma.
Sekali lagi, jika para alumni telah merasa “menjadi” karena institusinya, dan institusinya menjadi besar karena alumninya, maka segeralah berpadu padan mengibarkan panji-panji kejayaan perguruan tinggi agama Hindu.
Namun jika, terutama alumni, masih juga belum bisa mengartikulasikan hal-hal kecil yang produktif untuk almamaternya, untuk sang ibu yang melahirkannya, entah kini telah “sebagai apa” dan “menjadi siapa”, maka saya perlu menagih kembali janji-janji muluk yang kadung dikobarkan saat seremonial wisuda, atau mengingatkan lagi sumpah sakral alumni saat di-samawartana. Atau mungkin saya hanya perlu mengajukan pertanyaan kecil yang belum tentu bisa segera dijawab: Alumni, Where are you?
inys, pemred [*]