STAHDNJ.AC.ID

Vidyaya, Vijnanam, Vidvan
Subscribe

MAHA SIVARATRI

January 22, 2023 By: admin Category: Artikel Keagamaan, Berita/News, ORASI ILMIAH

MAHA SIVARATRI

“Sebagai Wahana Pendakian Spiritual”

 

JAKARTA TIMUR, Pura Agung Taman Sari Halim Perdana Kusuma, Jumat 20 januari 2023. 19.00

Civitas Akademika Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta dalam perayaan Maha Sivaratri mengadakan dharmatula yang bertemakan Maha Sivaratri Sebagai Wahana Pendakian.  Sebagai malam perenungan, kita mestinya melakukan evaluasi atau intropeksi diri atas perbuatan-perbuatan selama ini. Pada malam pemujaan Siva ini kita memohon diberi tuntunan agar dapat keluar dari perbuatan dosa. Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan), dilangsungkan upacara Siva Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan.

Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek. Orang yang selalu jagralah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa. Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan,orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria.

Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit didapat. Ia harus selaludiupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran pada Sang hyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama. Hari Siwaratri jatuh setiap setahun sekali berdasarkan kalender saka yaitu pada purwaning Tilem atau panglong ping 14 sasih Kepitu (bulan ke tujuh) sebelum bulan mati (tilem), dalam kalender Masehi setiap bulan Januari.

Pelaksanaan Perayaan Maha Sivaratri ini dihadiri Pinandita Prof. Dr. Ir I Made Kartika Dhiputra, Dipl.-Ing. Sekaligus sebagai narasumbern;  Ketua tempek Pura Agung Taman Sari Bapak kapten purn. I Gusti Ketut Wiracana, Bapak ketua STAH DN Jakarta Bapak I Made Sutresna,S.Ag.,MA, sekaligus membuka acara Maha Sivaratri, Bapak waka I  I Ketut Budiawan,MH.,M.Fil.H. sekaligur sebagai moderator, Waka II  Dra. Anak Agung Oka  Puspa, M.Fil.H, Kabag.Auak Ni Ketut Rusmini Susilawati, S.Pd,H., M.Si, Ketua LP3M Drs. I Wayan Budha, M.Pd, pengenalan kampus. Kaprodi  Pendidikan Agama Hindu I Made Awanita, S.Ag., M.Pd, Kaprodi Ilmu Komunikasi Hindu Dr. Untung Suhardi, S.Pd.H., M.Fil.H, I Made Biasa, S.Ag.,M.Fil.H, Pembimbing KKN I Wayan Kantun Mandara, S.Ag., M.Fil.H, Study circle I Made Jaya Negara SP. S,Sn., M.Fil.H, sekaligur sebagai ketua pelaksana dalam acara ini dan sejumblah tenaga kependidikan yang lain.

Dalam Perayaan Maha Sivaratri ini dihadiri 250 peserta diantaranya mahasiswa semester I, III, V, VII, Para Dosen dan beberapa warga setempat. Acara dimulai dari persembahayangan bersama di utama mandala setelah itu berpindah  ke balai pesamuan agung. Acara di pandu dengan Made Dwi apriliana mahasiswa STAH DN Jakarta Semester 3. Di awali dengan berjapa mengucap 108 Nama-nama Suci Siva yang dipimpin oleh bapak I Wayan Kantun Mandara, S.Ag., M.Fil.H,.

Setelah itu, sambutan ketua tempek Pura Agung Halim Perdana Kusuma Bapak kapten purn. I Gusti Ketut Wiracana  menyambut baik kegiatan seperti ini dan beliau ingin lulusan STAH kedepan bisa memimpin umat-umat yang berada di nusantara maupun di luar negri seperti belgia,jerman selain itu, belaiu juga bangga lulusan STAH DN Jakarta menjadi Perwira TNI.

Dilanjutkan dengan Ketua STAH DN Jakarta Bapak I Made Sutresna,S.Ag.,MA,  beliau menyampaikan dalam perayaan ini tentunya ada yang berbeda karena lebih banyak dr tahun tahun sebelumnya. Beliau meminta maaf karena tempat yang kita buat acara tidak cukup karena banyknya peserta yang datang melebihi kapasitas untuk berkumpul dan berdiskusi bersama. Perayaan Maha sivaratri ini sangat penting dirayakan karena menjadi kunci dalam hidup manusia itulah sebabnya, bagaimanapun kondisinya perayaan ini harus di laksanakan setiap tahunya. Mengingat perayaan adalah yang sangat prinsipil dalam hidup kita “malam Siva” adalah malam pencerahan tanpa pencerahan kita tidak bisa memaknai kehidupan kita dengan sebaik baiknya.

Dilanjutkan dengan bapak Drs. I Wayan Budha, M.Pd, pengenalan kampus STAH DN Jakarta kepada seluruh peserta termasuk warga sekitar yang ikut dalam acra ini.

Selanjutnya mamasuki dharma tula dengan narasumber Pinandita Prof. Dr. Ir I Made Kartika Dhiputra, Dipl.-Ing. Hal hal ini beliau banyak menjelaskan tentang perayaan Maha Siwaratri kita tentunya dalam memuja Dewa Siwa dengan sikap ‘’duduk” atau “linggih” dalam bahasa jawa artinya lungguh. Duduk dalam posisi silasana sempurna dengan merasa nyaman mengetahui cara duduk dengan benar dan lama, inilah bentuk lingga yang sebenarnya dari sini seseorang akan merasakan keseimbangan antara dia dirinya sebagai lingga dan yang di puja sebagai Ista Dewata. Dalam perayaan ini kita semua tentunya memuja Siva dalam manifestasinya sebagai Siva lingga. Melakukan pendakian spiritual sudah menjadi batang tentu utamanya harus menata srada bakti terlebih dahulu.

Dengan srada bakti itu kita diharapkan menjadi sakti dalam artian tau siapa yang akan kita puja,disembah Wisnu dalam Ista Dewatanya. Karena di Pura Agung Taman Sari yang di linggihkan Sang Hyang Pasupati maka yang di linggihkan Dewa Siwa. Pinandita Prof. Dr. Ir I Made Kartika Dhiputra, Dipl.-Ing juga menyampaikan ketika srada bakti sempurna kita diharapkan tidak sombong, selain itu diharapkan paramahasiswa nanti ketika lulus menjadi pinandita tidak bole mengutru sambil ngadep, harus semua pada diri keluar mengucapkan “om” bukan “hom” karena lingga yang ada pada diri dengan lingga yang di puja itu akan menyatu, antara pemuja dan yang di puja menyatu. Sikap duduk juga harus sesuai dengan astangga yoga merupakan tahapan-tahapan yang harus dijalankan bagi seseorang yang ingin meningkatkan kualitas spiritual.

Astangga Yoga berarti delapan tahapan yang harus dilaksanakan dalam beryoga. Bagian-bagian dari Astangga Yoga yaitu Yama (pengendalian), Nyama (peraturan-peraturan), Asana (sikap tubuh), Pranayama (latihan pernafasan), Prathyahara (menarik semua indrinya kedalam), Dharana (telah memutuskan untuk memusatkan diri dengan Tuhan), Dhyana (mulai meditasi dan merenungkan diri serta nama Tuhan), dan Samadhi (telah mendekatkan diri, menyatu atau kesendirian yang sempurna atau merialisasikan diri). Disamping itu prof juga mengingatkan ketika merayakan sivaratri agar tidak main main mengunakan foto dewa siva yang dikalungi dengan bunga karena kita hidup di indonesia,jadilah Hindu Nusantara bukan Hindu India. Prof disini banyak membahas tentang bagaimana membangun kesadaran dalam diri agar keselarasan tercapai antara pemuja dan yang di puja menjadi satu. Setelah penyampaian materi prof berakhir dilanjutkan dengan persembhyangan bersama. Setelah sembhyang dilanjutkan dengan berjapa Om Nama Sivaya  sebanyak 108 .

Nah ketika selesai sembhyang mahasiswa bebuka puasa jeda sebentar dan melanjutkan kegiatan terakhir yaitu study circle yang di pimpin bapak I Wayan Kantun Mandara, S.Ag., M.Fil.H,. diskusi memakai konsep Upanisad yaitu duduk melingkar di bawa Guru. Setelah duduk atau lungguh barulah diskusi dimulai bapak Wayan Kantun Mandara  menjelaskan tentang pohon bilva Ficus religiosa) adalah tanaman suci, mempunyai akar ke atas (spirit) dan akar ke bawah (duniawi), merupakan tanaman aswatha (bhagavadgita), dimana setiap lembarnya merupakan simbol-simbol sloka-sloka suci Weda Tanaman bilva menyimpan zat asam (oksigen/neeter), dimana di dalam Atharwa Weda VI.95.1.disebutkan bahwa : Asvattho devasadanah

Tanaman bilva (Ficus religiosa) dinamakan tempat kediamannya para dewa sebab ia selalu memancarkan oksigen (nettar). Kemudian dipertegas lagi dalam Sama Weda 1.824 bahwa : Tam it samanam vamna caviruddho antarvantis ca sarvate ca vivaha. Tanam-tanaman dan tumbuhan memancarkan udara vital yang dinamakan samana (oksigen) secara teratur. Di Bali, daun bilva dipergunakan sebagai sarana pemujaan yang paling utama pada Hari Siwaratri, yang tertuang dalam Siwaratri Kalpa Di dalam ceritra Lubdaka dikatakan, naik ke atas pohon bilva (irika tikang nisada memenek pang ing maja) . Kata bilva (bila) dapat berubah menjadi wira yang berarti perwira, teguh hati, tekun. Dengan analisis itu maka pohon bilva mengandung simbolik yang menggambarkan bahwa ia adalah bertumpu pada ketekunan.

Kemudia bapak Wayan Kantun Mandara juga menjelaskan cerita Lubdaka adalah seorang pemburu, kerjaanya adalah membunuh yang disebut himsa karma. Sedangkan dalam ajaran Hindu dilarang membunuh, menyakiti yang disebut ahimsa karma. Sebenarnya ceritra Lubdaka dibangun berdasarkan faham dwaita “dualis”. Dimana menurut Bethara Siwa , Lubdaka adalah orang yang telah melaksanakan dharma yang utama, karena setia menjalankan Brata Siwaratri yakni, upawasa, monabrata dan jagra. Ini adalah pemujaan kepada Siwa dengan tepat. Sedangkan menurut Bethara Yama, Sang Giriputri belum tahu tentang Brata Siwaratri ini penuh berkah. Namun Betara Yama menilai Lubdaka adalah si pembunuh maka ia harus mendapat siksa neraka.

Selanjutnya dikatakan Lubdaka memetik daun bilva menjatuhkan ke dalam danau. Artinya dia takut terjatuh maka tidak boleh mengantuk. Simbolis di sini dia takut jatuh, yaitu mengalami reinkarnasi dimana reinkarnasi itu adalah kehidupan yang terjadi dari kejatuhan dari sorga atau neraka. Untuk itulah agar tidak jatuh manusia mestinya berintrospeksi diri. Ibarat bayangan bulan di tempayan setiap bayangan itu akan menampakan diri kita secara keseluruhan. Maka ranu, kolam yang ada di bawah dengan lingga disimbolkan cermin untuk melihat bayangan kita sedangkan lingga adalah atma kita.

Memetik-metik daun bilva dalam Pustaka Siwaratribrata sebanyak 108 adalah simbolik dari menghitung kesalahan yang telah diperbuat. Angka 108 dijumlahkan menjadi 9 yakni angka tertinggi, simbolik dari Lubdaka melakukan perbuatan dengan keteguhan hati, ketekunan memuja Siwa adalah mencapai puncaknya.

Atas dasar analisis itulah maka cerita Lubdaka adalah simbolik seorang yogi dalam menekuni Yoga. Dengan Brata Siwaratri di malam ke ping 14 brata itu mencapai puncaknya. Seperti disebutkan dalam Wrehaspati Kalpa, bahwa bagi mereka yang telah mencapai Samadhi, segala papa nerakanya terbakar, dibakar oleh panasnya api gaib (bhanimaya) sebagai akibat dari matangnya yoga.

Dalam ritual Siwaratri adalah momentum “malam penghormatan Siwa” yang sepatutnya dimaknai sebagai  “malam kesadaran”  (tan mrema, tan aturu), bukan “malam penebusan dosa”. Apalagi sekadar begadang semalam suntuk yang dilakukan di sembarang tempat dengan aktivitas yang cenderung mengarah terhadap hal² yang tidak patut, bahkan tergolong jauh dari hakikat Siwaratri yang mengamanatkan umat meningkatkan kesadaran sang diri  – matutur ikang atma ri jatinya Kesadaran diri menjadi intisari ajaran Siwaratri

Terakhir beliau berpesan Jika dalam hidup tidak pernah melakukan Brata Siwaratri maka dalam hidup ini tidak akan punya arti. Seperti dikatakan dalam Arjuna Wiwaha disebutkan bahwa :

“Seseorang yang tidak pernah melakukan brata, tapa, yoga semadi akan berharap, memaksa supaya memperoleh kesukaan dari Hyang Widhi akan dibalikan halnya dan ditimpa kesedihan, disakiti oleh rajah dan tamah.”

Setelah itu acara di tutup dengan persembhyangan bersama, berfoto ,bersih-bersih area pura dan kemudian pulang.

Comments are closed.