STAHDNJ.AC.ID

Vidyaya, Vijnanam, Vidvan
Subscribe

Archive for the ‘Artikel Keagamaan’

MAHA SIVARATRI

January 22, 2023 By: admin Category: Artikel Keagamaan, Berita/News, ORASI ILMIAH

MAHA SIVARATRI

“Sebagai Wahana Pendakian Spiritual”

 

JAKARTA TIMUR, Pura Agung Taman Sari Halim Perdana Kusuma, Jumat 20 januari 2023. 19.00

Civitas Akademika Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta dalam perayaan Maha Sivaratri mengadakan dharmatula yang bertemakan Maha Sivaratri Sebagai Wahana Pendakian.  Sebagai malam perenungan, kita mestinya melakukan evaluasi atau intropeksi diri atas perbuatan-perbuatan selama ini. Pada malam pemujaan Siva ini kita memohon diberi tuntunan agar dapat keluar dari perbuatan dosa. Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan), dilangsungkan upacara Siva Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan.

Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek. Orang yang selalu jagralah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa. Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan,orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria.

Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit didapat. Ia harus selaludiupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran pada Sang hyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama. Hari Siwaratri jatuh setiap setahun sekali berdasarkan kalender saka yaitu pada purwaning Tilem atau panglong ping 14 sasih Kepitu (bulan ke tujuh) sebelum bulan mati (tilem), dalam kalender Masehi setiap bulan Januari.

Pelaksanaan Perayaan Maha Sivaratri ini dihadiri Pinandita Prof. Dr. Ir I Made Kartika Dhiputra, Dipl.-Ing. Sekaligus sebagai narasumbern;  Ketua tempek Pura Agung Taman Sari Bapak kapten purn. I Gusti Ketut Wiracana, Bapak ketua STAH DN Jakarta Bapak I Made Sutresna,S.Ag.,MA, sekaligus membuka acara Maha Sivaratri, Bapak waka I  I Ketut Budiawan,MH.,M.Fil.H. sekaligur sebagai moderator, Waka II  Dra. Anak Agung Oka  Puspa, M.Fil.H, Kabag.Auak Ni Ketut Rusmini Susilawati, S.Pd,H., M.Si, Ketua LP3M Drs. I Wayan Budha, M.Pd, pengenalan kampus. Kaprodi  Pendidikan Agama Hindu I Made Awanita, S.Ag., M.Pd, Kaprodi Ilmu Komunikasi Hindu Dr. Untung Suhardi, S.Pd.H., M.Fil.H, I Made Biasa, S.Ag.,M.Fil.H, Pembimbing KKN I Wayan Kantun Mandara, S.Ag., M.Fil.H, Study circle I Made Jaya Negara SP. S,Sn., M.Fil.H, sekaligur sebagai ketua pelaksana dalam acara ini dan sejumblah tenaga kependidikan yang lain.

Dalam Perayaan Maha Sivaratri ini dihadiri 250 peserta diantaranya mahasiswa semester I, III, V, VII, Para Dosen dan beberapa warga setempat. Acara dimulai dari persembahayangan bersama di utama mandala setelah itu berpindah  ke balai pesamuan agung. Acara di pandu dengan Made Dwi apriliana mahasiswa STAH DN Jakarta Semester 3. Di awali dengan berjapa mengucap 108 Nama-nama Suci Siva yang dipimpin oleh bapak I Wayan Kantun Mandara, S.Ag., M.Fil.H,.

Setelah itu, sambutan ketua tempek Pura Agung Halim Perdana Kusuma Bapak kapten purn. I Gusti Ketut Wiracana  menyambut baik kegiatan seperti ini dan beliau ingin lulusan STAH kedepan bisa memimpin umat-umat yang berada di nusantara maupun di luar negri seperti belgia,jerman selain itu, belaiu juga bangga lulusan STAH DN Jakarta menjadi Perwira TNI.

Dilanjutkan dengan Ketua STAH DN Jakarta Bapak I Made Sutresna,S.Ag.,MA,  beliau menyampaikan dalam perayaan ini tentunya ada yang berbeda karena lebih banyak dr tahun tahun sebelumnya. Beliau meminta maaf karena tempat yang kita buat acara tidak cukup karena banyknya peserta yang datang melebihi kapasitas untuk berkumpul dan berdiskusi bersama. Perayaan Maha sivaratri ini sangat penting dirayakan karena menjadi kunci dalam hidup manusia itulah sebabnya, bagaimanapun kondisinya perayaan ini harus di laksanakan setiap tahunya. Mengingat perayaan adalah yang sangat prinsipil dalam hidup kita “malam Siva” adalah malam pencerahan tanpa pencerahan kita tidak bisa memaknai kehidupan kita dengan sebaik baiknya.

Dilanjutkan dengan bapak Drs. I Wayan Budha, M.Pd, pengenalan kampus STAH DN Jakarta kepada seluruh peserta termasuk warga sekitar yang ikut dalam acra ini.

Selanjutnya mamasuki dharma tula dengan narasumber Pinandita Prof. Dr. Ir I Made Kartika Dhiputra, Dipl.-Ing. Hal hal ini beliau banyak menjelaskan tentang perayaan Maha Siwaratri kita tentunya dalam memuja Dewa Siwa dengan sikap ‘’duduk” atau “linggih” dalam bahasa jawa artinya lungguh. Duduk dalam posisi silasana sempurna dengan merasa nyaman mengetahui cara duduk dengan benar dan lama, inilah bentuk lingga yang sebenarnya dari sini seseorang akan merasakan keseimbangan antara dia dirinya sebagai lingga dan yang di puja sebagai Ista Dewata. Dalam perayaan ini kita semua tentunya memuja Siva dalam manifestasinya sebagai Siva lingga. Melakukan pendakian spiritual sudah menjadi batang tentu utamanya harus menata srada bakti terlebih dahulu.

Dengan srada bakti itu kita diharapkan menjadi sakti dalam artian tau siapa yang akan kita puja,disembah Wisnu dalam Ista Dewatanya. Karena di Pura Agung Taman Sari yang di linggihkan Sang Hyang Pasupati maka yang di linggihkan Dewa Siwa. Pinandita Prof. Dr. Ir I Made Kartika Dhiputra, Dipl.-Ing juga menyampaikan ketika srada bakti sempurna kita diharapkan tidak sombong, selain itu diharapkan paramahasiswa nanti ketika lulus menjadi pinandita tidak bole mengutru sambil ngadep, harus semua pada diri keluar mengucapkan “om” bukan “hom” karena lingga yang ada pada diri dengan lingga yang di puja itu akan menyatu, antara pemuja dan yang di puja menyatu. Sikap duduk juga harus sesuai dengan astangga yoga merupakan tahapan-tahapan yang harus dijalankan bagi seseorang yang ingin meningkatkan kualitas spiritual.

Astangga Yoga berarti delapan tahapan yang harus dilaksanakan dalam beryoga. Bagian-bagian dari Astangga Yoga yaitu Yama (pengendalian), Nyama (peraturan-peraturan), Asana (sikap tubuh), Pranayama (latihan pernafasan), Prathyahara (menarik semua indrinya kedalam), Dharana (telah memutuskan untuk memusatkan diri dengan Tuhan), Dhyana (mulai meditasi dan merenungkan diri serta nama Tuhan), dan Samadhi (telah mendekatkan diri, menyatu atau kesendirian yang sempurna atau merialisasikan diri). Disamping itu prof juga mengingatkan ketika merayakan sivaratri agar tidak main main mengunakan foto dewa siva yang dikalungi dengan bunga karena kita hidup di indonesia,jadilah Hindu Nusantara bukan Hindu India. Prof disini banyak membahas tentang bagaimana membangun kesadaran dalam diri agar keselarasan tercapai antara pemuja dan yang di puja menjadi satu. Setelah penyampaian materi prof berakhir dilanjutkan dengan persembhyangan bersama. Setelah sembhyang dilanjutkan dengan berjapa Om Nama Sivaya  sebanyak 108 .

Nah ketika selesai sembhyang mahasiswa bebuka puasa jeda sebentar dan melanjutkan kegiatan terakhir yaitu study circle yang di pimpin bapak I Wayan Kantun Mandara, S.Ag., M.Fil.H,. diskusi memakai konsep Upanisad yaitu duduk melingkar di bawa Guru. Setelah duduk atau lungguh barulah diskusi dimulai bapak Wayan Kantun Mandara  menjelaskan tentang pohon bilva Ficus religiosa) adalah tanaman suci, mempunyai akar ke atas (spirit) dan akar ke bawah (duniawi), merupakan tanaman aswatha (bhagavadgita), dimana setiap lembarnya merupakan simbol-simbol sloka-sloka suci Weda Tanaman bilva menyimpan zat asam (oksigen/neeter), dimana di dalam Atharwa Weda VI.95.1.disebutkan bahwa : Asvattho devasadanah

Tanaman bilva (Ficus religiosa) dinamakan tempat kediamannya para dewa sebab ia selalu memancarkan oksigen (nettar). Kemudian dipertegas lagi dalam Sama Weda 1.824 bahwa : Tam it samanam vamna caviruddho antarvantis ca sarvate ca vivaha. Tanam-tanaman dan tumbuhan memancarkan udara vital yang dinamakan samana (oksigen) secara teratur. Di Bali, daun bilva dipergunakan sebagai sarana pemujaan yang paling utama pada Hari Siwaratri, yang tertuang dalam Siwaratri Kalpa Di dalam ceritra Lubdaka dikatakan, naik ke atas pohon bilva (irika tikang nisada memenek pang ing maja) . Kata bilva (bila) dapat berubah menjadi wira yang berarti perwira, teguh hati, tekun. Dengan analisis itu maka pohon bilva mengandung simbolik yang menggambarkan bahwa ia adalah bertumpu pada ketekunan.

Kemudia bapak Wayan Kantun Mandara juga menjelaskan cerita Lubdaka adalah seorang pemburu, kerjaanya adalah membunuh yang disebut himsa karma. Sedangkan dalam ajaran Hindu dilarang membunuh, menyakiti yang disebut ahimsa karma. Sebenarnya ceritra Lubdaka dibangun berdasarkan faham dwaita “dualis”. Dimana menurut Bethara Siwa , Lubdaka adalah orang yang telah melaksanakan dharma yang utama, karena setia menjalankan Brata Siwaratri yakni, upawasa, monabrata dan jagra. Ini adalah pemujaan kepada Siwa dengan tepat. Sedangkan menurut Bethara Yama, Sang Giriputri belum tahu tentang Brata Siwaratri ini penuh berkah. Namun Betara Yama menilai Lubdaka adalah si pembunuh maka ia harus mendapat siksa neraka.

Selanjutnya dikatakan Lubdaka memetik daun bilva menjatuhkan ke dalam danau. Artinya dia takut terjatuh maka tidak boleh mengantuk. Simbolis di sini dia takut jatuh, yaitu mengalami reinkarnasi dimana reinkarnasi itu adalah kehidupan yang terjadi dari kejatuhan dari sorga atau neraka. Untuk itulah agar tidak jatuh manusia mestinya berintrospeksi diri. Ibarat bayangan bulan di tempayan setiap bayangan itu akan menampakan diri kita secara keseluruhan. Maka ranu, kolam yang ada di bawah dengan lingga disimbolkan cermin untuk melihat bayangan kita sedangkan lingga adalah atma kita.

Memetik-metik daun bilva dalam Pustaka Siwaratribrata sebanyak 108 adalah simbolik dari menghitung kesalahan yang telah diperbuat. Angka 108 dijumlahkan menjadi 9 yakni angka tertinggi, simbolik dari Lubdaka melakukan perbuatan dengan keteguhan hati, ketekunan memuja Siwa adalah mencapai puncaknya.

Atas dasar analisis itulah maka cerita Lubdaka adalah simbolik seorang yogi dalam menekuni Yoga. Dengan Brata Siwaratri di malam ke ping 14 brata itu mencapai puncaknya. Seperti disebutkan dalam Wrehaspati Kalpa, bahwa bagi mereka yang telah mencapai Samadhi, segala papa nerakanya terbakar, dibakar oleh panasnya api gaib (bhanimaya) sebagai akibat dari matangnya yoga.

Dalam ritual Siwaratri adalah momentum “malam penghormatan Siwa” yang sepatutnya dimaknai sebagai  “malam kesadaran”  (tan mrema, tan aturu), bukan “malam penebusan dosa”. Apalagi sekadar begadang semalam suntuk yang dilakukan di sembarang tempat dengan aktivitas yang cenderung mengarah terhadap hal² yang tidak patut, bahkan tergolong jauh dari hakikat Siwaratri yang mengamanatkan umat meningkatkan kesadaran sang diri  – matutur ikang atma ri jatinya Kesadaran diri menjadi intisari ajaran Siwaratri

Terakhir beliau berpesan Jika dalam hidup tidak pernah melakukan Brata Siwaratri maka dalam hidup ini tidak akan punya arti. Seperti dikatakan dalam Arjuna Wiwaha disebutkan bahwa :

“Seseorang yang tidak pernah melakukan brata, tapa, yoga semadi akan berharap, memaksa supaya memperoleh kesukaan dari Hyang Widhi akan dibalikan halnya dan ditimpa kesedihan, disakiti oleh rajah dan tamah.”

Setelah itu acara di tutup dengan persembhyangan bersama, berfoto ,bersih-bersih area pura dan kemudian pulang.

BHAKTI KEPADA HYANG WIDHI MELALUI GITA

August 29, 2018 By: admin Category: Artikel Keagamaan

Oleh : Ni Nyoman Sudiani*

Gita adalah nyanyian, di dalam kitab Brhad-Aranyaka Upanisad kita kenal istilah udgita, dan ajaran mengenai irama terdapat dalam kitab Samaveda. Di kalangan umat Hindu di Indonesia kita mengenal istilah Dharmagita dimana Dharma artinya benar, kebenaran, kewajiban, sedangkan Gita artinya nyanyian. Jadi Dharmagita adalah nyanyian kebenaran, nyanyian mengenai hal-hal yang benar. Jika Dharma diartikan sebagai kewajiban, maka Dharmagita berarti kewajiban menyanyikan nyanyian suci untuk mendekatkan diri kepada Ida Sanga Hyang Widhi Wasa. Juga berarti kewajiban menyebarkan ajaran suci Veda melalui nyanyian. Kenapa Gita begitu penting dalam ajaran Hindu? karena ajaran Hindu diturunkan melalui Gita oleh Tuhan, contohnya Kitab Bhagavadgita dan selanjutnya disebarkan melalui Gita juga.

Ngayah Di Pura Agung Jagatkartta Gunung Salak

Ngayah Di Pura Agung Jagatkartta Gunung Salak

 

Menyanyikan nyanyian suci inilah yang dilakukan oleh Pesantian Gita Bhuana Santi Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Dharma Nusantara pada tanggal 18 Agustus 2018 di Wantilan Nista Mandala Pura Parahyangan Agung Jagatkartta Gunung Salak, dalam rangka ngayah (kerja bakti) menjelang pujawali ke XIII tepatnya pada Purnama Sasih Ketiga. Gita selalu dinyanyikan setiap umat Hindu melaksanakan upacara agama atau ritual, karena menyanyikan Gita merupakan syarat dari upacara yang satwika. Umat Hindu di Indonesia, dalam hal ini khususnya umat Hindu etnis Bali selalu menyanyikan Gita atau kidung-kidung suci setiap melakukan upacara agama baik di pura maupun di rumah. Kewajiban menyanyikan Gita atau nyanyian suci di setiap upacara agama dapat ditemukan pada kitab suci Rgveda X.71.11, bunyi mantranya adalah:

Rcam tvah posamaste pupusvanayatram

tvo gayati skvarisu,

brahma tvo vadati jatavidyam    

yajñasya matram vi mimita u tvah.

Artinya

“Seseorang (Hota) bertugas mengucapkan mantra Veda (Rgveda), seorang (Udgata) melakukan nyanyian-nyanyian pujian atau mengucapkan Gayatra (Samaveda) dalam metre Sakvari; seorang lagi yaitu Brahma yang menguasai pengetahuan Veda mengajarkan isi Veda dan memberitahukan apa yang harus dilakukan; dan yang lain (Adhvaryu) memastikan persediaan bahan persembahan dan mengajarkan tata cara melaksanakan korban suci”

Merujuk pada kitab suci Rgveda X.71.11 tersebut maka setiap upacara agama selalu disertai dengan melantunkan sekar Alit, sekar Madya, sekar Agung, dan Sloka. Melalui gita tersebut umat Hindu mendapatkan pencerahan.

Pesantian Gita Bhuana Santi STAH Dharma Nusantara Jakarta

Pesantian Gita Bhuana Santi STAH Dharma Nusantara Jakarta

Persembahan Gita oleh Pesantian Gita Bhuana Santi STAH Dharma Nusantara Jakarta juga merupakan implementasi dari ajaran Catur Marga, yaitu Jñana Marga. Kenapa disebut Jñana Marga? Karena dalam hal ini melalui Gita tersebut Pesantian Gita Bhuana Santi menyebarkan ajaran agama Hindu.  Jñana Marga yang dilakukan oleh Pesantian Gita Bhuana Santi STAH Dharma Nusantara Jakarta juga dilandaskan oleh Bhakti Marga, yaitu dengan rasa tulus ikhlas melaksanakan ngayah sebagai wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Melantunkan Gita juga sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat oleh STAH DN Jakarta yang merupakan implementasi dari Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu ikut menyebarkan ajaran Hindu terutama tentang tradisi-tradisi baik yang dilakukan oleh para leluhur atau orang-orang suci pada masa lampau. Adapun Gita yang dinyanyikan pada hari itu adalah Geguritan Dalem Sidakarya. Tidak semua umat mengetahui tentang Babad Dalem Sidakarya terutama anak-anak yang lahir di luar Bali. Sebelum bernama Dalem Sidakarya beliau dipanggil Brahmana Keling, yaitu seorang Pandita dari Keling. Beliau berasal dari Pulau Jawa bagian timur, tepatnya dari desa Keling, dan  karena beliau berasal dari Keling maka beliau dipanggil Brahmana Keling. Nama beliau yang sebenarnya tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.

Brahmana Keling adalah putra Dang Hyang Kayu Manis, cucu dari Mpu Candra, kumpi dari Mpu Bahula, dan juga merupakan cicit dari Mpu Baradah. Beliau memiliki pasraman di gunung Bromo. Beliau diutus oleh Dang Hyang Kayu Manis agar datang ke Bali membantu memimpin upacara Eka Dasa Ludra di Pura Besakih yang diselenggarakan oleh Raja Waturenggong. Raja Waturenggong merupakan sepupu Brahmana Keling, namun karena Beliau melakukan perjalanan jauh sehingga seluruh pakaian beliau menjadi sangat kotor (dekil) sehingga rakyat Gelgel tidak percaya kepada Brahmana Keling ketika mengatakan sepupu dari raja. Raja Waturenggongpun tidak percaya dengan Brahmana Keling sebagai seorang Pandita lalu beliau diusir. Karena perlakuan sang Raja akhirnya Brahmana Keling mengutuk jagat Bali terkena bencana dan agar upacara di Besakih gagal. Untuk memulihkan keadaan itu maka raja memerintahkan untuk mencari Brahmana Keling. Akhirnya Brahmana Keling diajak menghadap raja di Pura Besakih dan mengatakan sanggup untuk mengembalikan keadaan jagat Bali seperti semula dan dapat membuat upacara di Pura Besakih berjalan dengan lancar. Brahmana Keling dapat membuat upacara di Pura Besakih menjadi sukses, akhirnya  sejak saat itu Beliau diberi nama Dalem Sidakarya.

Itulah cerita babad yang disampaikan oleh Pesantian Gita Bhuana Santi STAH DN Jakarta melalui nyanyian, yang tujuan utamanya adalah untuk menyebarkan tradisi-tradisi baik dan luhur yang telah dilakukan oleh orang-orang suci sejak jaman lampau untuk keselamatan alam semesta ini. Semoga apa yang dilakukan oleh Pesantian Gita Bhuana Santi STAH DN Jakarta bermanfaat bagi lestari dan berkembangnya ajaran Hindu, dan semaraknya umat melakukan, melestarikan dan mengembangkan kidung-kidung suci yang telah ada.

Referensi

Prakash, Ravi dan K.L Joshi, 2005. ?g Veda Samhita Mandala VIII, IX dan X terjemahan Dewanto, S.S. Surabaya: Paramita.

Radhakrishnan, S. 1989. The Principal Upanisads. Jakarta: Yayasan Parijata.

Sudiani, Ni Nyoman. Geguritan Dalem Sidakarya disalin dari kaset Luh Camplung. Bali: Aneka Record.

 

*)Dosen STAH Dharma Nusantara Jakarta

 

MAHA SHIVARATRI DI HALIM PERDANA KUSUMA JAKARTA

January 30, 2017 By: admin Category: Artikel Keagamaan

Pada hari Caturdasi Krnapaksa Maghamasa, malam 13/hari ke 14 bulan Magha (Sasih Kapitu) atau sehari sebelum tilem (bulan mati) Sasih Kapitu, yaitu malam yang paling gelap di dalam satu tahun, yang tahun ini jatuh pada tanggal 26 Januari 2017 dilaksanakan Maha Shivaratri, bertempat di Pura Taman Sari Halim Perdana Kusuma Jakarta Timur. Acara ini diikuti oleh umat sedharma serta mahasiswa dan dosen STAH Dharma Nusantara Jakarta. Hadir sebagai narasumber Bp. KS Arsana dan Bp. Wayan Kantun Mandara.

siwaratri1Prosesi yang diawali dengan persiapan oleh panitia kemudian persembahyangan bersama, dilanjutkan dengan Siva Puja dengan melantunkan 1008 nama Siva. Kurang lebih berdurasi 1 jam 40 menit Siva Puja selesai langsung dilanjutkan dengan Dharma Tula  yang dibawakan oleh kedua nara sumber. Suatu Kreasi yang Nampak bahwa sebelum Dharma Tula dimulai, sejenak ditampilkan Sekehe Geguntangan dan Shanti STAH DN Jakarta untuk memberikan semangat dan hiburan  kepada peserta. Usai penampilan tersebut MC yang diperankan oleh Mahasiswa STAH DN Jakarta langsung mengambil alih kendali acara dan Dharma Tula Dimulai.

Bp. Wayan Kantun Mandara dengan mengkombinasikan paparannya dengan tayangan film. Beliau menekankan bahwa malam Maha Shivaratri ini hendaknya dijadikan sarana untuk memperbaiki dan introsfeksi diri dan melihat kedalam diri sendiri, agar perilaku kita menjadi lebih baik. Jalan Bhakti seperti Padasevanam, berbakti kepada tuhan dengan cara memberikan pelayanan kepada Tuhan termasuk sesama dan menolong mahkluk-mahkluk ciptaaNya, perlu lebih dikedepankan sehingga akan memupuk Cinta kasih sesama makhluk hidup.gegun

Bp. KS Arsana, pada paparannya menekankan pemurnian pikiran dengan Cinta Kasih. Pikiran adalah akar dari segala kebaikan dan kejahatan. Penyebab dari kebahagiaan sejati maupun penderitaan. Oleh karenanya Hindu mengajarkan Tri Kaya Parisuda. Dengan mengucapkan nama Shiva pada Maha Shivaratri (Malam Agung Siva) maka orang tersebut akan dimurnikanNya pikiran orang tersebut dari kegelapan pikiran Menuju cahaya pengetahuan, dibersihkan hatinya dan dibimbing dirinya dari yang tak benar Menuju kebenaran.

Diskusi, pertanyaan dan tanggapan dari narasumber menambah suasana menjadi hidup sehingga mejagra (melek semalam suntuk) sebagai salah satu ritual yang dilaksanakan malam itu menjadi berjalan lancar. Ritual lainnya dalam pelaksanaan Maha Shivaratri ini disamping jagra yaitu monobrata dan upawasa.

siwar2Tepat Pukul 00.00 malam hari diadakan persembahyangan bersama yang dipimpin langsung Mangku Gede Pura Taman Sari Halim yaitu Jero Mangku Made Kartika Dhiputra, bersama dengan Jero Mangku Ketut Baret.  Usai Persembahyangan Acara Dharma Tula dilanjutkan sampai menjelang Pkl. 4.30 acara diakhiri dengan Kuis untuk memperebutkan Door Price bagi peserta hingga pukul 4.30 yang dilanjutkan dengan persembahyangan bersama kembali. (Uli)